REVOLUSI MENTAL DAN NAWA CITA SERTA PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang tengah dilanda krisis multidimensi yang berkepanjangan. Ketika Negara-negara lain (Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan lain-lain) telah bangkit dengan segera setelah mengalami krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997, Indonesia sampai saat ini masih terus mengalami krisis, dan masih kelihatan suram untuk bangkit dari keterpurukan. Krisis ini sebenarnya mengakar pada menurunnya kualitas moral bangsa atau lemahnya mentalitas dan hancurnya karakter generasi muda. Tantangan globalisasi yang ada di hadapan kita merupakan hal yang tak bisa diingkari. Revolusi teknologi, transportasi, informasi, dan komunikasi menjadikan dunia ini tanpa batas. Kita bisa mengetahui sesuatu yang terjadi di belahan benua lain dalam hitungan detik melalui internet dan lain-lain. Pengetahuan dan teknologi menjadi garda depan yang harus diprioritaskan dalam era globalisasi. Jepang, Singapura, Malaysia, Korea Selatan sudah berlari tunggang langgang untuk mengejar ketertinggalan dan mengubah diri tidak hanya sebagai penonton pasif, tapi juga actor kreatif yang ikut dalam proses kompetensi ketat globalisasi. Menurut M. Mastuhu (2007: 49-50), globalisasi memberi peluang bagi siapa saja yang mau dan mampu memanfaatkannya, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepantingan manusia lainnya. Menurut A. Qodri Azizy (2004: 26), kata kunci globalisasi adalah kompetensi. Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia sendiri disaat semua Negara berpacu dan berlomba membuat teknologi secanggih mungkin untuk mengimbangi globalisasi, Indonesia malah sibuk dengan permasalahan dan semakin terpuruk. Globalisasi sudah menembus semua penjuru dunia, bahkan sampai daerah terpencil sekalipun, masuk ke rumah-rumah, membombardir pertahanan moral dan agama, sekuat apa pun dipertahankan. Televise, internet, Koran, handphone, dan lain-lain adalah media informasi dan komunikasi yang berjalan dengan cepat, menggulung sekat-sekat tradisional yang selama ini dipegang sekuat-kuatnya. Moralitas menjadi melonggar. Sesuatu yang dulu dianggap tabu, sekarang menjadi biasa-biasa saja. Cara berpakaian, berinteraksi dengan lawan jenis, menikmati hiburan di tempat-tempat special dan menikmati narkoba menjadi tren dunia modern yang sulit ditanggulangi. Globalisasi menyediakan seluruh fasilitas yang dibutuhkan manusia, positif maupun negative. Banyak manusia terlena dengan menuruti semua keinginannya, apalagi memiliki rezeki melimpah dan lingkungan kondusif. Akhirnya, karakter bangsa berubah menjadi rapuh, mudah diterjang ombak, terjerumus dalam tren budaya yang melenakan, dan tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan. Prinsip-prinsip moral, budaya bangsa, dan perjuangan hilang dari karakteristik mereka. Inilah yang menyebabakan dekadensi moral serta hilangnya kreativitas dan produktivitas bangsa. Sebab, ketika karakter suatu bangsa rapuh maka semangat berkreasi dan berinovasi dalam kompetensi yang kekat akan mengendur, dan mudah dikalahkan oleh semangat konsumerisme, hedonism, dan pesimisifisme yang instan dan menenggelamkan. Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi membuat sebuah gebrakan dalam masa pemerintahannya yaitu tentang Revolusi Mental yang ada dalam poin ke delapan dalam Nawa Cita, khusunya revolusi mental dalam dunia pendidikan. Karena pendidikan adalah awal dari generasi muda yang berkarakter. Program ini diharapkan mampu mengubah dan membenahi karakter bangsa Indonesia. Namun, saat ini revolusi mental ini sedang menjadi sorotan dan menjadi pertanyaan khalayak umum. Berawal dari permasalahan di atas, maka penyusun membuat makalah yang berjudul “REVOLUSI MENTAL DAN NAWA CITA SERTA PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA” untuk mendalami tentang Revolusi mental dalam dunia pendidikan itu sendiri. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana revolusi mental? 2. Bagaimana nawa cita? 3. Bagaimana pendidikan karakter di Indonesia? C. Tujuan Penyusunan Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Karakter Bangsa. 2. Untuk mengetahui revolusi mental. 3. Untuk mengetahui nawa cita. 4. Untuk mengetahui pendidikan karakter di Indonesia. BAB II PEMBAHASAN A. Revolusi Mental dan Nawa Cita Mendengar kata revolusi mental bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia, karena sebelumnya presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno telah mencetuskan ini. Namun, belakangan ini kata revolusi mental tengah hangat menjadi topic pembicaraan di beberapa media. Karena kata revolusi mental ini menjadi jargon atau program pemerintahan presiden Jokowi yang tertuang dalam nawa cita poin ke delapan. Nawacita adalah istilah umum yang diserap dari bahasa Sanskerta, nawa (sembilan) dan cita (harapan, agenda, keinginan). Seiring dengan kemenangan Bapak Joko Widodo dan Yusuf Kalla dalam pilpres 9 Juli 2014, maka tampaknya kita akan memasuki era perubahan yang siknifikan (semoga) melalui kosep REVOLUSI MENTAL yang dicanangkan oleh Presiden Baru periode 2014-2019 itu. Konsep revolusi mental nampaknya dapat menjadi sebuah harapan yang bisa kita terapkan untuk membangun mental masyarakat Indonesia yang kuat. Revolusi mental ditujukan untuk pembangunan manusia dan pembangunan sosial. Pembangunan manusia melingkupi 3 dimensi, yaitu sehat, cerdas, berkepribadian. Sehat berarti dimulai dengan fisik kita yang senantiasa fit dan bugar. Cerdas berarti mengarah pada otak kita yang selalu berpikir dan diasah sehingga memiliki kemampuan analisis yang tajam dan berkualitas. Sedangkan berkepribadian adalah kaitannya dengan kehendak yang berbudi pekerti luhur. Perlunya revolusi mental adalah karena penyakit seperti emosi/mental/jiwa akan berdampak pada individu berupa malasnya seseorang dan tidak mempunyai karakter. Kemudian dampaknya akan menular kepada masyarakat yang ditandai dengan gangguan ketertiban, keamanan, kenyamanan, kecemburuan sosial, dan ketimpangan sosial. Lebih jauh lagi, akan berdampak negatif pada bangsa dan negara. Bangsa kita akan lemah dan menjadi tidak bermartabat. Kemudian produktivitas dan daya saing kita menjadi rendah. Cukup menarik ketika revolusi mental adalah jembatan menuju Indonesia yang berkepribadian. Dimulai dari diri sendiri, menjadi manusia cerdas dengan metode belajar yang serius, terus berlatih, memanfaatkan prasaran dan sarana yang sudah tersedia (sambil berharap pemerintah memperbaiki/melengkapinya), meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan belajar, serta membiasakan budaya membaca. Menjadi manusia sehat jasmani dengan menjaga kesehatan diri dan pemeliharaan lingkungan. Karena substansi revolusi mental ada pada pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, pendidikan berbudi pekerti luhur, serta pendidikan demokrasi dan sadar hukum. 1. Pengertian Revolusi Mental Revolusi (dari bahasa latin revolutio, yang berarti "berputar arah") adalah perubahan fundamental (mendasar) dalam struktur kekuatan atau organisasi yang terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat. Kata kuncinya adalah Perubahan dalam Waktu Singkat. Revolusi mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat baik pemerintah atau rakyat dengan cara yang cepat untuk mengangk kembali nilai-nilai strategi yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara untuk mampu menciptakan ketertiban dan Kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi. Revolusi mental mengubah cara pandang, pikiran, sikap dan perilaku yang berorientasi pada kemajuan dan kemoderenan, sehingga menjadi bangsa besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berikut ini pendapat tentang revolusi mental menurut Bung Karno sebagai pencetus dan menurut Joko Widodo: a) Bung Karno : Revolusi mental merupakan satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang putih, berkemampuan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api menyala-nyala. b) Joko Widodo : Usaha lebih memperkokoh kedaulatan, meningkatkan daya saing dan mempererat persatuan bangsa, Kita perlu melakukan Revolusi Mental. 2. Tiga Pokok Permasalahan Bangsa a) Merosotnya wibawa bangsa b) Lemahnya sendi perekonomian bangsa c) Intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. 3. Visi dan Misi Pemerintahan Jokowi – JK Visi: “Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong” Misi: a) Mewujudkan keamanan nasioanal yang mampu menjaga kedaulatan wiliyah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya mariti, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai Negara kepulauan. b) Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan Negara hukum. c) Mewujudkan politik Luar Negeri dan memperkuat jatidiri sebagai Negara maritim. d) Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera. e) Mewujudkan Bangsa yang berdaya saing. f) Mewujudkan Indonesia menjadi Negara maritime yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. g) Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dan kebudayaan. 4. Sembilan Agenda Prioritas (Nawa Cita) Adapun 9 agenda prioritas (Nawa Cita) a) Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap dan memberikan rasa aman pada suluruh warga Negara. b) Membuat Pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola Pemerintah yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. c) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan d) Menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi system dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. e) Meningkatka kualitas hidup manusia. f) Mewujudkan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia Pintar, Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera.kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. g) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. h) Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia. i) Memperteguh ke-bhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan ke-bhinekaan. 5. Tujuan Revolusi Mental Adapun tujuan revolusi mental adalah sebagai berikut: a) Mengubah cara pandang, piker dan sikap, perilaku dan cara kerja. b) Membangkitkan kesadaran dan membangun sikap optimistic c) Mewujudkan Indonesia yang berdaulat, berdikari dan berkprebadian. 6. Delapan Prinsip Revolusi Mental a) Bukan proyek tapi gerakan social. b) Ada tekad politik untuk menjamin kesungguhan pemerintah. c) Harus bersifat lintas-sektoral. d) Bersifat partisipasi (kolaborasi pemerintah, masyarakat sipil, sector privat, dan akademisi) e) Diawali dengan pemicu. f) Desainn program harus ramah pengguna, popular, menjadi bagian dari gaya hidup dan sistemik-holistik (bencana semesta) g) Nilai-nilai yang dikembangkan bertujuan mengatur kehidupan social (moralitas public) h) Dapat diukur dampaknya. 7. Tiga Nilai Revolusi Mental a) Integrasi (jujur, dipercaya, berkarakter, bertanggung jawab) b) Etos kerja (etos kerja, daya saing, optimis, inovatif dan produktif) c) Gotong royong (kerja sama, solidaritas, komunai, berorientasi pada kemaslahatan) 8. Strategi Internalisasi 3 Nilai Revolusi Mental a) Jalur birokrasi Internalisasi 3 nilai revolusi mental pada Kementrian/Lembaga melalui: 1) Pembentukan tugas gugus dan pic 2) Tersusunnya program, kegiatan nyata berbasis nilai-nilai revolusi mental. 3) Menjadi contoh tauladan (role model) b) Jalur swasta 1) Memperkuat kemitraan antara pengusaha kecil dan pengusaha besar. 2) Inseftif pengurangan pajak bagi pengusaha Indonesia yang mengembangkan produk local inovatip. 3) Instruksi presiden kepada pengusaha media untuk berkolaborasi mempromosikan revolusi mental. 4) Mengembangkan lembaga keuangan mikro di desa. 5) Mendukung inisiatif uaha menengah membuka pasar/sentral yang menjual produk local yang inovatif, kreatif dan harga terjangkau. c) Jalur kelompok masyarakat 1) Pembudayaan 3 nilai revolusi mental dalam kelompok masyarakat 2) Membangun role model 3) Aspirasi terhadap kelompok masyarakat 4) Keteladanan oleh tokoh d) Jalur pendidikan 1) Memperkuat kurikulum pendidikan kewarganegaraan pada semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan untuk membangun integrasi, membentuk etos kerja keras dan semangat gotong royong. 2) Menerapka ekstra kurikuler revolusi mental di sekolah. 3) Meningkatkan sarana pendidikan yang merata. 4) Meningkatkan kompotensi guru dalam mendudkung revolusi mental. B. Pendidikan Karakter di Indonesia “Sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, ketika karakternya tergadai” (Thomas Lickona, 1992) Pendidikan karakter ini muncul sejak tahun 2010, pada masa itu menteri Pendidikan M. Nuh membuat kebijakan pendidikan di Indonesia harus berkarakter guna melahirkan generasi emas Indonesia 2020. Hal dikarenakan saat ini Indonesia mengalami krisis karakter, fenomena ini dapat kita lihat dari dari potret pendidikan di Indonesia. Persoalan praktik-praktik kebohongan dalam dunia pendidikan mulai dari menyontek pada saat ujian sampai plagiarisme hak cipta dan perjokian Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) serta praktik jual-beli izajah palsu. Jika sebagai peserta didik saja sudah terbiasa dengan tipu-menipu alias manipulasi ujian, maka ketika nanti sudah lulus dan bekerja akan kembali melahirkan para koruptor baru dan budaya korupsi tidak akan pernah hilang di Negara kita. Dunia pendidikan sangat bertanggung jawab dalam meghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki akademis bagus dan moral yang baik. Walaupun pada kenyataannya potret pendidikan di Negara kita dari segi akademis sangat bagus tetapi dari segi karakter ternyata masih bermasalah. Siapa yang tidak mengelus dada ketika melihat seorang pelajar yang tidak punya sopan santun, pendendam, mencontek, hobi narkoba, tawuran, membolos sekolah, aborsi, berjudi bahkan bagus nilainya untuk “mata pelajaran” pornografi. Contoh-contoh tersebut merupakan jenis kenakalan pelajar yang umum. Namun, tidak menutup mata pelajar yang patut dibanggakan juga ada, seperti mereka yang menjuarai olimpiade sains, baik ditingkat nasional maupun internasional. Bahkan, ada pelajar Indonesia yang berhasil menjadi juara umum dalamInternational Conference of Young Scientists (ICYS) atau Konferensi Internasional Ilmuan Muda se-Dunia yang diikuti ratusaan pelajar SMA dari 19 negara di Bali pada 12-17 April 2010. Manakala Indonesia dikatakan oleh banyak pihak sebagai negara yang soft nationdan rapuhnya moral anak bangsa, pendidikan dituding gagal dalam menciptakan sumber daya manusia berkualitas. Institusi-institusi pendidikan terutama sekolah-sekolah dinilai gagal memenuhi tujuan pendidikan. Kegagalan pendidikan di Indonesia menghasilkan manusia yang berkarakter diperkuat oleh pendapat I Ketut Sumarta dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan yang Memekarkan Rasa”. Dalam tulisannya, Ketut Sumarta mengungkapkan bahwa pendidikan nasional kita cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir dan menepikan penempatan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin. Dari sini lahirlah manusia-manusia yang berotak pintar, manusia yang berprestasi secara kuantitatif akademik, tetapi tidak berkecerdasan budi sekaligus sangat bertentangan tidak mandiri. Dalam dunia pendidikan, terdapat tiga ranah yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotrik. Ranah kognitif berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknlogi, ranah afektif berkaitan dengan (sikap) attitude, moralitas, spirit, dan karakter, sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan keterampilan bersifat procedural dan cenderung mekanis. Dalam realitas pembelajaran di sekolah, usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah tersebut memang selalu diupayakan, tetapi pada kenyataannya yang dominan adalah ranah kognitif, kemudian psikmotorik. Akibatnya adalah peserta didik kaya akan kemampuan bersifat hard skill, tetapi miskin soft skill karena ranah afektif terabaikan. Gejala ini tampak pada output pendidikan yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, pintar, juara kelas, tetapi miskin kemampuan membangun relasi, kurang mampu berinteraksi dan bekerjasama, cenderung egois serta menjadi pribadi yang tertutup. Padahal, pendidikan pada esensinya merupakan sebuah upaya membangun kecerdasan manusia, baik kecerdasan kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Oleh karena itu, pendidikan secara terus menerus dibangun dan dikembangkan agar menghasilkan generasi yang unggul; unggul dalam ilmu, iman dan amal. Ada pepatah mengatakan, “Jika engkau ingin melihat masa depan suatu bangsa, lihatlah kondisi generasi penerusnya hari ini ”. Dengan demikian, pembentukan karakter terbaik pada anak menjadi hal yang sangat penting karena anak merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan eksistensi bangsa. Berbagai pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, menyatakan bahwa terbentuknya karakter kpribadian manusia ditentukan oleh factor nature dan nurture, dan tidak ada kata terlambat dalam membentuk karakter anak bangsa. Bangsa Indonesia pasti tidak ingin menjadi bangsa yang tertinggal dan terbelakang. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk kemajuan dan memperbaiki kualitas bangsa, seperti, pembaharuan kurikulum, peningkatan anggaran, atau standarisasi kompetensi pendidikan. Namun, usaha tersebut dirasa masih belum mencapai hasil yang diharapkan sesuai tujuan pendidikan itu sendiri. Tingginya biaya sekolah, buruknya fasilitas-fasilitas sekolah di daerah-daerah pelosok, minimnya kesejahteraan dan kualitas guru, melengkapi masalah bangsa ini. Guna menghadapi kecanggihan teknologi dan komunikasi yang terus berkembang, perbaikan sumber daya manusia juga perlu terus diupayakan untuk membentuk manusia yang cerdas, terampil, mandiri dan berakhlak mulia. Berbagai wacana pun santer disebarkan. Salah satuya adalah wacana pendidikan karakter yang dianggap mampu memberikan jawaban atas kebuntuan permasalahan dalam sistem pendidikan. Kita sebenarnya sudah terlambat dalam menerapkan pendidikan karakter, tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa percuma menerapkan pendidikan karakter karena negara kita sudah terlanjur banyak korupsi. Pemikiran tersebut merupakan pemikiran yang terlalu pesimis. Masih banyak generasi muda kita yang duduk di bangku sekolah dan dengan butuh pendidikan karakter agar di masa depan menjadi manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual saja, tapi juga karakter. Dan lembaga pendidikan diharapkan dapat menjadi motor penggeraknya serta guru diharapkan menjadi peran utamanya Lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga sosial lainnya di Indonesia memiliki beban yang sangat berat dalam menghadapi pelemahan nilai, pelemahan moral dan orientasi kebangsaan seperti masalah cinta tanah air, ikatan kebangsaan, solidaritas kebangsaan jatidiri bangsa dan lebih luas lagi dalam membela martabat dan kedaulatan bangsa di tengah berbagai ekspansi nilai-nilai luar yang memperlemah kebangsaan. Menurut William Bernnett (1991), sekolah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pembentukan karakter anak (character building). Apalagi , bagi anak didik yang tidak mendapatkan pendidikan karakter sama sekali di lingkungan dan keluarga mereka. Oleh karena itu, peran dan kontribusi guru sangat dominan karena anak didik sangat membutuhkan bimbingan sebab anak belum siap menghadapi problem yang terjadi di lingkungan masyarakat. Sebagai sebuah lembaga, sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik anak agar pintar, cerdas, serta memiliki karakter positif sebagaimana diharapkan setiap orang tua. Namun sekarang ini, banyak orang tua mengeluh bahwa pendidikan karakter di sekolah telah diabaikan. Tampaknya, hal tersebut disebabkan gagasan pendidikan karakter masih berada dalam wilayah konsep semata yang terletak dibenak para pendidik dan pemerhati pendidikan serta hanya menjadi komoditas isu pendidikan yang menjadi wacana. Sekolah harus merespon kenyataan tersebut dengan membumikan gagasan pendidikan karakter, yaitu dengan mengimplementasikan atau menerapkan gagasan pendidikan karakter melalui berbagai strategi untuk membentuk peserta didik yang berkarakter. Tanpa karakter yang positif, seseorang dengan mudah melakukan sesuatu apa pun yang dapat menyakiti atau menyengsarakan orang lain. Oleh karena itu, kita perlu membentuk karakter untuk mengelola diri dari hal-hal yang negative. Karakter yang terbangun diharapkan akan mendorong setiap manusia untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan suara hatinya. Pendidikan secara filosofis merupakan satu kesatuan dengan kehidupan, yang menunjukan proses bagaimana manusia mengenal diri dengan segenap potensi yang dimilikinya dan memahami apa yang tengah dihadapinya dalam realitas kehidupan nyata (Suyanto, 2006: ix). Pendidikan adalah proses yang memanusiakan manusia yang terus-menerus dialami sepanjang hayat. Pendidikan mencakup segala aspek keseharian saat seseorang belajar, mengamati, mendengarkan, membaca, menonton, bekerja dan lain sebagainya. Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan pada Pasal 3, yang berbunyi pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang harus dilaksanakan secara sistematis. Hal ini berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Meninjau dari fungsi pendidikan itu sendiri dan dilihat dari permasalahan yang ada, sebenarnya hal tersebuat merupakan asal-usul adanya kurikulum 2013 atau disingkat dengan K13. Pendidikan karakter di Indonesia sudah diterapkan oleh beberapa sekolah atau lembaga pendidikan. Salah satunya system Bourding School atau memadukan antara sekolah dan pesantren. Selain itu, untuk yang hanya sekolah saja. Sekolah membuat program sendiri tentang pendidikan karakter mulai dari kultur sekolah, ekstrakulikuler yang dapat membangun karakter anak bangsa seperti pramuka. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Adapun dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Revolusi mental merupakan program pemerintahan Jokowi-JK yang tertuang dalam Nawa Cita Point ke-8, dan untuk melaksanakan programnya Bapak Presiden Joko Widodo membuat sebuah kebinet yaitu cabinet kerja. 2. Pendidikan karakter ini merupakan aplikasi dari revolusi mental dalam dunia pendidikan, mengingat banyak sekali permasalahan pendidikan dan pendidikan sangat bertanggung jawab dalam melahirkan generasi yang berkarakter. 3. Permasalahan yang saat ini di alami Indonesia, terutama koropsi. Permasalahan ini dianggap bahwa pendidikan telah gagal menciptakan manusia berkarakter. Inilah yang menjadi PR buat kita semua. B. Saran 1. Buktikan kepada masyarakat bahwa revolusi mental bukan hanya sekedar jargon saat kampanye, tetapi merupakan sebuah tindakan nyata pemerintahan. 2. Berilah pendidikan politik yang mendidik masyarakat bukan kekuasaan partai politik. 3. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah tapi merupakan tanggung jawab bersama. Kalaupun ada ketimpangan jangan salahkan semua kegagalan sekolah, karena hal ini bukan hanya disebabkan factor sekolah.   DAFTAR PUSTAKA Djudjun Djaenudin Supriadi, “Program Pendidikan Karakter di Lingkungan BPK PENABUR Jakarta,” dalam Jurnal Pendidikan Karakter, Nomor 10, Tahunke 7, Juni 2008, Doni Koesuma, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger (Jakarta: Grasindo, 2009), Sofyan Sauri, “Membangun Bangsa Berkarakter Nilai Iman dan Taqwa dalam Pelajaran”, dalam Makalah, disampaikan pada Acara Seminar Nasional Pendidikan Paparan Deputi SDMK Penutupan Pra-Mesrenbabangnas 2015 Revolusi Mental. Paparan SESMENKO Revolusi Mental BAKOHUMAS www.Wikipedia.com //definisi nawacita

Related Posts:

0 Response to "REVOLUSI MENTAL DAN NAWA CITA SERTA PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA"

Post a Comment