notaris bukan pegawai negeri sehingga tidak bisa di samakan dengan pegawai negeri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum, sekaligus pula sebagai sebuah profesi, posisinya sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat. Notaris seyogianya berada dalam ranah pencegahan (preventif) terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan. Tidak dapat dibayangkan bila Notaris justru menjadi sumber masalah bagi hukum akibat akta otentik yang dibuatnya dipertanyakan kredibilitasnya oleh masyarakat. Sejarah mencatat awal lahirnya profesi jabatan Notaris adalah profesi kaum terpelajar dan kaum yang dekat dengan sumber kekuasaan. Para Notaris ketika itu mendokumentasikan sejarah dan titah raja. Para Notaris juga menjadi orang dekat Paus yang memberikan bantuan dalam hubungan keperdataan. Bahkan pada abad kegelapan ( Dark Age 500 – 1000 setelah Masehi) dimana penguasa tidak bisa memberikan jaminan kepastian hukum, para Notaris menjadi rujukan bagi masyarakat yang bersengketa untuk meminta kepastian hukum atas sebuah kasus. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak awal lahirnya profesi jabatan Notaris, termasuk jabatan yang prestisius, mulia, bernilai keluhuran dan bermartabat tinggi. Lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004 yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2004, sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 yang terdiri dari 13 Bab dan 92 Pasal tersebut semakin mempertegas posisi penting Notaris sebagai pejabat umum yang memberikan kepastian hukum melalui akta otentik yang dibuatnya. Landasan filosofis lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran, dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris serta memberikan akses terhadap informasi termasuk akses terhadap peraturan perundangundangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara tidak memihak dan bebas (unpartiality and Independency). Notaris merupakan pejabatan umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta yang dibuat dihadapan Notaris merupakan bukti otentik, bukti paling sempurna, dengan segala akibatnya. Jabatan Notaris adalah jabatan umum atau publik karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, Notaris menjalankan tugas negara, dan akta yang dibuat, yaitu minuta (asli akta) adalah merupakan dokumen negara. Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan umum (pemerintah) dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu, karena itu ia ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah. Meskipun Notaris adalah pejabat umum/publik yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, namun Notaris bukan pegawai pemerintah/negeri yang memperoleh gaji dari pemerintah. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian tidak berlaku terhadap Notaris. Notaris adalah pejabat umum/publik yang juga melaksanakan kewibawaan pemerintah dibidang hukum tapi tidak memperoleh gaji dari pemerintah. Namun Notaris bukanlah pejabat Tata Usaha Negara sehingga Notaris tidak bisa dikenakan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 11 a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan penegasan kepada Notaris sebagai pejabat umum. Pasal 1868 tersebut menyatakan bahwa, Suatu akta otentik, ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang ditempat dimana akta itu dibuat. Namun demikian Notaris bukanlah satu-satunyaa pejabat umum yang ditugasi oleh undang-undang dalam membuat akta otentik. Ada pejabat umum lainnya yang ditunjuk undang-undang dalam membuat akta otentik tertentu seperti pejabat kantor catatan sipil dalam membuat akta kelahiran, perkawinan dan kematian, Pejabat kantor lelang negara dalam membuat akta lelang, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam membuat akta otentik dibidang pertanahan Kepala Kantor Urusan Agama dalam membuat akta nikah, talak dan rujuk dan lain sebagainya. Namun secara umum dapat dikatakan Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang yang cukup besar dalam membuat hampir seluruh akta otentik. Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku sekaligus menjunjung tinggi kode etik profesi Notaris sebagai rambu yang harus ditaati. Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik harus dapat mempertanggungjawabkan akta yang dibuatnya tersebut apabila ternyata dikemudian hari timbul masalah dari akta otentik tersebut. Masalah yang timbul dari akta yang dibuat oleh Notaris perlu dipertanyakan, apakah akibat kesalahan dari Notaris tersebut atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan keterangan, dokumen yang dibutuhkan secara jujur dan lengkap kepada Notaris. Apabila kesalahan yang terjadi pada pembuatan akta otentik tersebut berasal dari para pihak yang melakukan perbuatan hukum dengan memberikan keterangan tidak jujur dan dokumen tidak lengkap (disembunyikan) oleh para pihak, maka akta otentik yang dibuat Notaris tersebut mengandung cacat hukum, dan bila karena keterangan para pihak yang tidak jujur atau menyembunyikan sesuatu dokumen penting yang seharusnya diperlihatkan kepada Notaris, maka para pihak yang melakukan perbuatan tersebut dapat saja dikenakan tuntutan pidana oleh pihak lain yang merasa dirugikan dengan dibuatnya akta otentik tersebut. Pasal pidana yang dapat digunakan untuk melakukan penuntutan pidana terhadap para pihak tersebut adalah Pasal 266 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) yang menyatakan “Barang siapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh orang lain mempergunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian. Batas-batas kewenangan seorang Notaris dalam pembuatan akta diatur di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, Kode Etik Notaris dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sepanjang Notaris yang bersangkutan mematuhi dan mentaati aturan-aturan yang terdapat dalam UUJN maupun kode etik Notaris maka Notaris yang bersangkutan akan aman dari segala tindakan atau perbuatan yang melawan hukum terutama bidang hukum pidana. Apabila ketentuan pada UUJN dilanggar terutama dengan memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik, maka pada fase tersebut Notaris dapat dijadikan sebagai tersangka. Fase berikutnya apabila akta yang dibuat Notaris tersebut nyata-nyata karena kesalahannya atau kesengajaannya oleh karena kehendak jahat, maka pada fase tersebut Notaris yang bersangkutan dapat dijadikan sebagai terdakwa. Apabila pengadilan melalui Majelis Hakim dapat membuktikan secara fakta hukum, Notaris tersebut terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan maka pada fase itu Notaris tersebut telah menjadi seorang terpidana melalui suatu keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sanksi-sanksi terhadap Notaris mengenai pelanggaran administratif dilakukan oleh Dewan Kehormatan Notaris, dalam hal ini adalah Dewan Kehormatan Daerah (Kabupaten/Kota), Dewan Kehormatan Wilayah (Propinsi) dan Dewan Kehormatan Pusat (Jakarta). Sanksi yang dijatuhkan kepada seorang Notaris yang melanggar ketentuan administratif adalah berupa teguran (lisan/tertulis) surat peringatan maupun pemberhentian sementara (skorsing). 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka timbul beberapa permasalahan yang perlu di bahas, sebagai berikut : 1. Apa yang di maksud dengan Notaris ? 2. Bagaimana Kode etik Notaris ? 1.3 Tujuan Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan ? 2. Memahami Bagaimana Kode Etik Notaris ? 1.4 Manfaat Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 1. Secara Teoritis Hasil penyusunan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan untuk penambahan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang hukum, yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum dibidang kenotariatan 2. Secara Praktis Hasil penyusunan ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat, aparat pemerintah yang terkait dengan penanganan Notaris,   BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Notaris Kata notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan nara sumber. Tanda atau karakter yang dimaksud adalah tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Pada awalnya jabatan notaris hakikatnya adalah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan hukum keperdataan. Jadi, sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat. Notaris seperti yang dikenal di zaman “Republik der Verenigde Nederlanden” mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya “Oost Ind. Compagnie” di Indonesia. Lima tahun kemudian, yakni pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan “notaris publik” dipisahkan dari jabatan “secretaries van den gerechte” dengan surat keputusan Gubernur Jenderal tanggal 12 November 1620, maka dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para notaris di Indonesia, yang hanya berisikan 10 pasal, di antaranya ketentuan bahwa para notaris terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya. Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai tahun 1822, notariat ini hanya diatur oleh 2 buah reglemen yang agak terperinci, yakni dari tahun 1625 dan 1765.8 Di dalam tahun 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan “Instructie voor de notarissen in Indonesia” yang terdiri dari 34 pasal. Pada tahun 1860 diundangkanlah suatu peraturan mengenai Notaris yang dimaksudkan sebagai pengganti peraturan-peraturan yang lama, yaitu PJN (Notaris Reglement) yang diundangkan pada 26 Januari 1860 dalam Staatblad Nomor 3 dan mulai berlaku pada 1 Juli 1860. Inilah yang menjadi dasar yang kuat bagi pelembagaan notaris di Indonesia. Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah yang tidak menerima gaji dari pemerintah, notaries dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pension dari pemerintah. Oleh karena itu, bukan saja notaris yang harus dilindungi tetapi juga para konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa notaris. Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian, dengan mengkategorikan notaries sebagai pejabat publik, dalam hal ini publik yang bermakna hukum. Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Seorang Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus memiliki keterampilan profesi di bidang hukum juga harus dilandasi dengan tanggungjawab dan moral yang tinggi serta pelaksanaan terhadap tugas jabatannya maupun nilai-nilai dan etika, sehingga dapat menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan hukum dan kepentingan masyarakat. Notaris dalam melaksanakan tugasnya secara profesional harus menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak dan penuh rasa tanggungjawab dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan umum (public). 2.1.1 Persyaratan Jabatan Notaris Untuk menjadi seorang notaris diperlukan sejumlah persyaratan, pendidikan hukum adalah suatu keharusan bagi calon notaris. Setelah lulus dari fakultas hukum, seseorang tidak dapat langsung menjadi notaris. Seorang calon notaris wajib mengikuti kuliah bidang kenotariatan atau menempuh pendidikan S2 hukum bidang kenotariatan. Setelah menempuh kuliah di bidang hukum dan S2 kenotariatan, calon notaris masih diharuskan mengikuti pembekalan selama tiga bulan dan selanjutnya magang selama kurang lebih satu tahun. Menurut Ira Koesoemawati & Yunirman Rijan, masih ada beberapa beberapa persyaratan untuk menjadi notaris di Indonesia, yaitu: 1. Secara umum, syarat menjadi calon notaris adalah orang yang berkewarganegaraan Indonesia. 2. Memiliki kedewasaan yang matang. Dengan kemampuan hukum yang mumpuni dan kedewasaan mental yang baik, maka keputusan-keputusan yang diambil merupakan keputusan yang berkualitas. 3. Tidak memiliki catatan kriminal. Terbebas dari catatan kriminal merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Ada kekhawatiran bahwa jika seseorang pernah berbuat kriminal maka di masa depan ia tidak segan untuk mengulanginya kembali. Meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka yang bersih dari catatan kriminal akan selamanya bersih, tetapi persyaratan ini akan menyaring calon yang tidak baik. 4. Pengetahuan hukum yang baik. Sebagai wakil negara dalam rnembuat akta autentik yang sah dan mendidik masyarakat awam terkait masalah pembuatan, pengadaan, serta hal lainnya seputar akta. Seorang Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Dalam Pasal 3 UUJN disebutkan bahwa syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris adalah: a. warga Negara Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. sehat jasmani dan rohani; e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Persyaratan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.01-HT.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan dan Pemberhentian Notaris (untuk selanjutnya disebut dengan PERMENKUMHAM No: M.01-HT.03.01 Th 2006), yang berbunyi: Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah: a. warga negara Indonesia; b. bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Unadang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. sehat jasmani yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari dokter rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta; e. sehat rohani/ jiwa yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat dan psikiater rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta; f. berijazah sarjana hukum dan lulusan pendidikan Spesialis Notariat yang belum diangkat sebagai Notaris pada saat UUJN mulai berlaku; g. berumur paling rendah 27 (dua puluh tujuh) tahun; h. telah mengikuti pelatihan teknis calon Notaris yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bekerjasama dengan pihak lain; i. telah menjalani magang atau telah nyata-nyata bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris yang dipilih atas prakarsa sendiri atau yang ditunjuk atas Organisasi Notaris setelah lulus pendidikan sebagaimana dimaksud pada huruf f ; j. tidak pernah terlibat dalam tindak kriminal yang dinyatakan dengan surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia; k. mengajukan permohonan pengangkatan menjadi Notaris secara tertulis kepada Menteri; l. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Swasta, atau sedang memangaku jabatan lain yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. 2.1.2 Fungsi Notaris Pejabat umum adalah organ Negara, yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebagian dari kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang huum perdata. 2.1.3 Pemberhentian Notaris Pemerintah menghendaki notaris sebagai pejabat umum yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam membantu membuat perjanjian, membuat akta beserta pengesahannya yang juga merupakan kewenangan notaris. Meskipun disebut sebagai pejabat umum, namun notaris bukanlah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Kepegawaian. Notaris terikat dengan peraturan jabatan pemerintah, notaris tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah, tetapi memperoleh gaji dari honorarium atau fee dari kliennya Notaris dapat berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat, hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UUJN. Lebih lanjut Pasal di atas menyebutkan alasan-alasan seorang Notaris dapat berhenti atau diberhentikan, yaitu karena meninggal dunia; telah berumur 65 tahun; berhenti atas permintaan sendiri; tidak mampu secara rohani dan/ atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 tahun; dan merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Ketentuan Notaris dapat berhenti atau diberhentikan setelah berumur 65 tahun, dapat diperpanjang sampai berumur 67 tahun, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat (2) UUJN). UUJN tidak memberikan penjelasan Iebih lanjut mengenai alasan atas pertimbangan pemberian perpanjangan masa jabatan Notaris. Dengan demikian dapat ditafsirkan, bahwa pemberian waktu perpanjangan masa jabatan Notaris hingga umur 67 tahun hanya didasarkan pada pertimbangan kesehatan Notaris yang bersangkutan. Selain Notaris dapat berhenti atau diberhentikan dengan hormat, UUJN juga mengatur pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan, yaitu apabila Notaris dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; Notaris berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 tahun; melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris; atau melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Pemberhentian Notaris dengan tidak hormat dari jabatannya hanya dapat dilakukan oleh Menteri atas usul MPP. Menteri secara langsung dapat memberhentikan Notaris dengan tidak hormat apabila Notaris dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. UUJN juga mengatur mengenai pemberhentian sementara Notaris dari jabatannya. Aturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 9 UUJN yang menyebutkan bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena: a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang, b. berada di bawah pengampuan c. melakukan perbuatan tercela; atau d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Berdasarkan Pasal 9 ayat (3) UUJN Pemberhentian sementara Notaris dilakukan oleh Menteri atas usul MPP. Untuk dua alasan terakhir di atas, pemberhentian sementara berlaku paling lama 6 bulan. Sementara dua alasan 32 Pasal 12 dan Pasal 13 UUJN tersebut pertama tidak ditentukan batas waktu pemberhentiannya, hanya saja Pasal 10 UUJN secara eksplisit menyebutkan bahwa pemberhentian sementara berlaku sampai hak-hak Notaris dipulihkan. Dengan demikian Notaris yang diberhentikan sementara karena alasan telah melakukan perbuatan tercela dan melakukan pelanggaran kewajiban dan larangan jabatan dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah masa pemberhentian berakhir, sedangkan Notaris yang diberhentikan karena alasan dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang dan berada di bawah pengampuan dapat diangkat kembali menjadi Notaris setelah hak-haknya dipulihkan kembali. Mengenai kewenganan institusi yang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara dalam UUJN ada 2 (dua) ketentuan pasal yaitu dalam Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa pemberhentian sementara Notaris dilakukan oleh Menteri atas usul MPP, serta dalam Pasal 77 yang menyatakan bahwa salah satu kewenangan MPP adalah menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri. 2.2 Kewajiban Etis Notaris dan Larangan Etis Notaris 2.2.1 Kewajiban Etis Notaris Kewajiban Notaris dalam Kode Etik Notaris hasil Kongres Luar Biasa di Bandung pada tanggal 27 Januari 2005, tercantum dalam Pasal 3, yaitu: 1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik. 2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris. 3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan. 4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris. 5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan. 6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara; 7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium. 8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari. 9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan/ di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat: a. Nama lengkap dan gelar yang sah; b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris; c. Tempat kedudukan; d. Alamat kantor dan nomor telepon/ fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud. 10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan. 11. Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib. 12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia. 13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan Perkumpulan. 14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah. 15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim. 16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/ atau status sosialnya. 17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai 18. kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak 19. terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam: a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; c. Isi Sumpah Jabatan Notaris; d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia 2.2.2 Larangan Etis Notaris Selain mempunyai kewajiban sebagai anggota Organisasi Profesi, Notaris juga mempunyai larangan, larangan bagi Notaris dalam Kode Etik Notaris tercantum dalam Pasal 4 yaitu: 1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan. 2. Memasang papan nama dan/ atau tulisan yang berbunyi "Notaris/Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor. 3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/ atau elektronik, dalam bentuk: a. Iklan; b. Ucapan selamat; c. Ucapan belasungkawa; d. Ucapan terima kasih; e. Kegiatan pemasaran; f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah raga. 4. Bekerja sama dengan Biro jasa/ orang/ Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien. 5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain. 6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani. 7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain. 8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumendokumen yang telah diserahkan dan/ atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya. 9. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris. 10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan. 11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan. 12. Menjelekkan dan/ atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/ atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan / atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut. 13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi. 14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap: a. Ketentuan-ketentuan dalam UUJN tentang Jabatan Notaris; b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN tentang Jabatan Notaris; c. Isi sumpah jabatan Notaris; d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/ atau Keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.   BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Dari penyusunan makalah di atas maka dapat di simpulkan bahwa : 1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang dan mewakili kekuasaan umum untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, untuk kepentingan pembuktian atau sebagai alat bukti. Untuk menjadi Notaris Harus memenuhi persyaratan seperti yang tertuang dalam UUJN. Serta pemberhentian jabatan Notaris juga di atur dalam UUJN. 2. Selain Kewajiban Notaris juga mempunyai larangan seperti yang yang di atur sesuai Kode Etik Notaris hasil Kongres Luar Biasa di Bandung pada tanggal 27 Januari 2005.   DAFTAR PUSTAKA Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta : 2009 A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung :1983 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Erlangga, Jakarta, 1980 __________________, Peraturan Jabatan Notaris, cet. 3, Erlangga, Jakarta: 1983 Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai Pejabat H. Salim HS. & H. Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar Grafika, Jakarta : 2007 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI), Editor : Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang, dan Dimasa Mendatang, Gramedia Pustaka, Jakarta : 2009 R. Soesanto, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta : 1982 Sutrisno, Komentar Atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Diktat Kuliah Magister Kenotariatan USU, Medan : 2007 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta : 2006 Wawan Setiawan, Kedudukan dan Keberadaan Notaris Sebagai Pejabat Umum Menurut Sistem Hukum Dibandingkan Dengan Pejabat Tata Usaha Negara, Media Notariat 1996

Related Posts:

1 Response to "notaris bukan pegawai negeri sehingga tidak bisa di samakan dengan pegawai negeri"

  1. Info Program Magister Kenotariatan di:
    https://programmagisterkenotariatan.blogspot.com/

    ReplyDelete