Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959

ANALISIS DEKRIT PRESIDEN SOEKARNO DAN MAKLUMAT PRESIDEN ABDUR RAHMAN WAHID Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Hukum Konstitusi Program Kekhususan Hukum Tata Negara Disusun oleh: xxxxxxxxxxx FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2015 Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan digunakan kembalinya UUD 1945. masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi Terpimpin. Isinya ialah: 1. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950 2. Pembubaran Konstituante 3. Pembentukan MPRS dan DPAS Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Pada bulan 5 Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Konstituante yang ditugasi untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan "Kembali ke UUD' 45". Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka menimbulkan problem dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah -masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”. Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie). ANALISIS KELEBIHAN DAN KEKURANGAN 1. Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang dipenjarakan 2. Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan presiden membentuk DPRGR 3. Jaminan HAM lemahTerjadi sentralisasi kekuasaan 4. Terbatasnya peranan pers 5. Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur) 6. Penyaluran tuntutan-tinggi tapi tidak tersalurkan karena adanya Frontnas 7. Pemeliharaan nilai-Penghormatan HAM rendah 8. Kapabilitas-abstrak, distributif dan simbolik, ekonomi tidak maju 9. Integrasi vertikal - atas bawah 10. Integrasi horizontal-berperan solidarity makers, 11. Gaya politik berideologi, nasakom 12. Kepemimpinan tokoh kharismatik dan paternalistik 13. Partisipasi massa-dibatasi 14. Keterlibatan militer -militer masuk ke pemerintahan 15. Aparat negara -loyal kepada negara   MAKLUMAT PRESIDEN Abdur Rahman Wahid Masih ingatkah kita akan Dekrit kedua di negeri ini yang gagal??? Dinihari, 23 Juli 2001, tepat pukul 01.17 WIB, Presiden Abdurrahman Wahid mengumumkan Maklumat Presiden RI yang kemudian dikenal dengan Dekrit Gus Dur. Di dalam dekrit yang dibacakan salah seorang jurubicara presiden, Yahya C. Staquf, itu Gus Dur menegaskan bahwa telah terjadi krisis konstitusional yang memperparah krisis ekonomi dan penegakan hukum serta pemberantasan korupsi. Dengan segala pertimbangan itu, dengan keyakinan dan tanggung jawab untuk menyelamatkan negara dan bangsa serta berdasarkan sebagian terbesar masyarakat Indonesia, Gus Dur menegaskan bahwa sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dirinya terpaksa mengambil langkah-langkah luar biasa untuk memaklumkan tiga hal pokok, sebagai berikut: 1. membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI dan Dewan Perwakilan Rakyat RI; 2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemilihan umum dalam waktu setahun; 3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu. Analisis pendapat saya Seperti kita ketahui bersama bahwa dekrit tersebut memicu kontroversi dan masih menyimpan sebuah misteri, mungkin kita memang seharusnya melaksanakan dekrit tersebut. Saya melihat kisruhnya dunia perpolitikan Indonesia yang semakin menjadi-jadi. Setiap kasus selalu tertutupi kasus lain tanpa adanya solusi tuntas dari setiap masalah. Saya berharap adanya sebuah dekrit yang bakal memberikan perubahan yang nyata sehingga bisa memberikan manfaat yang terasa untuk rakyat Indonesia. Pertama, dekrit mengenai pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemilihan umum dalam waktu setahun. Isi dekrit ini menurut saya merupakan tindak lanjut dari pembubaran DPR/MPR yang sudah tak sesuai fungsinya. Dengan mengembalikan kedaulatan rakyat secara utuh akan benar-benar menghidupkan demokrasi. Sekarang ini memang kita ketahui bahwa kekuasaan tertinggi adalah ditangan rakyat tapi itu hanya teori belaka. Kekuasaan tertinggi sampai sekarang belum terasa untuk rakyat.masalah pembekuan DPR/MPR, kita tahu bersama sekarang ini masalah seolah tak pernah lepas dari DPR. Setiap masalah yang terjadi di negara ini selalu ada saja hubungannya dengan DPR dan yang terparah adalah masalah korupsi yang secara umum berasal dari lembaga ini, seperti kasus suap wisma atlet yang sekarang sedang berkembang. Belum lagi masalah internal DPR mulai ribut masalah renovasi ruang banggar hingga masalah ribut snack berharga 20 ribu yang diprotes anggota DPR. Saya merasa sudah terlalu fatal kebrobrokan yang terjadi di lembaga ini sehingga pemulihan secara perlahan sangat sulit dilakukan sehingga perlu dilakukan perubahan secara menyeluruh, salahsatunya dengan cara membekukan atau membubarkannya. Kedua, masalah pembekuan DPR/MPR, kita tahu bersama sekarang ini masalah seolah tak pernah lepas dari DPR. Setiap masalah yang terjadi di negara ini selalu ada saja hubungannya dengan DPR dan yang terparah adalah masalah korupsi yang secara umum berasal dari lembaga ini, seperti kasus suap wisma atlet yang sekarang sedang berkembang. Belum lagi masalah internal DPR mulai ribut masalah renovasi ruang banggar hingga masalah ribut snack berharga 20 ribu yang diprotes anggota DPR. Saya merasa sudah terlalu fatal kebrobrokan yang terjadi di lembaga ini sehingga pemulihan secara perlahan sangat sulit dilakukan sehingga perlu dilakukan perubahan secara menyeluruh, salahsatunya dengan cara membekukan atau membubarkannya. Ketiga, masalah pembekuan partai. Mungkin sudah saatnya kita mengatur secara ketat partai-partai di negara kita yang jumlahnya sangat banyak. Mungkin Dapat kita awali perubahan dengan membubarkan semua partai yang ada dan memulai sistem dunia perpolitikan yang baru. Denagn sistem ini, nantinya diharapkan sistem perpolitikan benar-benar lepas dari sistem lama yang sudah bobrok. Semua itu tentunya harus dibarengi dengan pengawasan dari seluruh rakyat. Hal terpenting lainnya adalah kecermatan kita menerapkan budaya ramah dan budaya terima kasih yang ada di Indonesia. Seperti kita ketahui bersama bahwa budaya-budaya tersebut dapat memicu adanya korupsi. Pada dasranya budaya tersebut adalah budaya yang sangat baik dan elegan. Namun, orang-orang kadang menyalah artikan dan malah memanfaatkannya dalam hal korupsi.

Related Posts:

Tindak Pidana KORUPSI Dalam Paradigma Hukum dan Paradigma Sosial

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sangsi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana. Sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain. Salah satu contoh kejahatan atau tindak pidana adalah korupsi, yang dalam bentuknya memiliki banyak macam dan jenis. Ironis memang, di Indonesia negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual ini pernah meraih peringkat pertama sebagai Negara terkorup di Asia dan Negara paling lamban yang keluar dari krisis dibandingkan negara-negara tetangganya. Tindak pidana korupsi merupakan fenomena hukum yang sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan yang semakin sistematis serta lingkup yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat. Adalah suatu hal yang naif apabila kenyataan ironis di atasditimpakan kepada Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk. Yang perlu dikritisi di sini ialah orientasi keberagamaan kita yang menekankan kesalehan ritual-formal dengan mengabaikan kesalehan moral-individual dan sosial. Model beragama seperti ini memang sulit untuk dapat mencegah pemeluknya dari perilaku- perilaku buruk, seperti korupsi. Padahal dalam perspektif ajaran Islam, korupsi merupakan perbuatan terkutuk, karena dampak buruk yang ditimbulkannya bagi suatu masyarakat dan bangsa sangatlah serius. Melalaui korupsi seseorang bisa mengumpulkan uang dalam jumlah yang cukup besar dalam jangka waktu yang relatif singkat. Dalam konteks keindonesiaan ternyata tindak pidana korupsi telah menjadi problematika nasional, yang dilakukan bukan saja pejabat tinggi tetepi juga pejabat level bawah. Dan sebagai upaya mengimbangi rasa bersalah maka, seringkali para koruptor memeberikan sumbangan dana kepada berbagai kegiatan sosial atau kepentingan umum, baik diserahkan kepada panitia pembangunan masjid, pengelola sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan lain-lain. Oleh karena itu, makalah/karya ilmiah ini berjudul Korupsi dalam Paradigma Hukum dan Paradigma Sosial. Dalam Karya ilmiah ini akan membahas mengenai bagaimana Korupsi dalam Paradigma Hukum dan Paradigma Sosial. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian di atas maka yang mejadi pokok permasalahan adalah; 1. Apa yang di maksud dengan Korupsi ? 2. Bagaimana Korupsi dalam Paradigma Hukum ? 3. Bagaimana Korupsi dalam Paradigma Sosial ?   Bab II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Korupsi Korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan keungan atau perekonomian Negara. Korupsi (bahasa Latin: Corruptio dari kata kerja Corrumpere yang bermakna busuku, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. A. Pengertian korupsi menurt beberapa ahli : 1. Menurut kartini kartono Korupsi yaitu tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan Negara. 2. Menurut Robert Klitgaard yang mengupas korupsi dari perspektif administrasi negara, mendefinisikan korupsi sebagai Tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi. Berbagai definisi yang menjelaskan dan menjabarkan makna korupsi dapat kita temui. Dengan penekanan pada studi masing-masing individu maka korupsi menjadi bermakna luas dan tidak hanya dari satu perspektif saja. Setiap orang bebas memaknai korupsi. Namun satu kata kunci yang bisa menyatukan berbagai macam definisi itu adalah bahwa korupsi adalah perbuatan tercela dan harus diberantas. Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas atau kejahatan. 2.2 Bagaimana Korupsi dalam pandangan Hukum Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 pasal 2 ayat (1) UU TPK menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tujuan dari praktek-praktek diatas tercantum dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Adapun sifat dari korupsi itu dibagi dua bagian, yaitu; 1. Korupsi Dibidang Public Korupsi dalam bidang publik, yaitu praktrk korupsi, legislative maupun yudikatif. Korupsi dibidang publik ini dapat berupa: - Nepotisme Yaitu memasukkan pegawai ke dalam instansi public baik di bidang eksekutif, legislative, maupun yudikatif tanpa memandang kemampuannya, tetapi didasarkan kepada kepentingan golongan tertentu, keluarga atau suku. - Fraus Yaitu kecenderungan paara peminpin untnuk memperkuat kedudukan yang kini dimiliki. - Bribery Yaitu korupsi yang dilakukan oleh pejabat, berupa penyuapan yang diberikan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhi agar member perhatian istimewa kepada kepentingan-kepentingan si pemberi. - Birokrasi Yaitu suatu sistem pemerintahan yang dapat menghilangkan keaslian, iinisiatif dan menelorkan menusia penjilat. Bahkan tukang sapu, penjaga pintu, tukang ketik juga ikut pula terlibat dalam korupsi karena dengan uang rokok (back shish system); uang suapan dapat menjadi pelumas untuk mempercepat mekanisme administrasi. 2. Korupsi Di Bidang Private Terutama dalam bidang perdagangan dimana timbul persaingan yang tidak sehat antara sesame pengusaha, adanya etiket buruk untuk tidak melaksanakan prestasi ataupun memusnahkan barang jaminan. Di lembaga perguruan tinggi misalnya adanya pengangkatan tenaga administratif maupun edukatif yang berlebih-lebihan dan kurang mampu adalah sangat merugikan para mahasiswa dan lain sebagainya. Landasan perundang-undangan Negara tentang korupsi adalah sebagai berikut: • TAP MPR-RI No. XI/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme; terdiri 4 pasal yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republic Indonesia berketetapan untuk memfungsikan secara proporsional dan benar lembaga tertinggi Negara, lembaga kepresidenan, lembaga tinggi Negara lainnya, sehingga penyelenggara Negara brlangsung sesuai dengan undang-undang dasar 1945. Pasal 2 1. Penyelenggara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa dan Negara.i prakte. 2. Untuk menjalankan fungsi dan tugasnya tersebut, penyelenggaraan Negara harus jujur, adil, tebuka dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dan nepotisme. Pasal 3 1. Untuk menghindari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, harus bersumpah sesuai dengan agamanya harus mengumumkan dan bersedia diperiksa kekayaan sebelum dan sudah menjabat. 2. Pemeriksaan atas kekayaan sebagaimana dimaksud kepada ayat 1 di atas dilakukan oleh suatu lembaga yang debentuk oleh kepala Negara yang keanggotaannya terdiri dari pemerintah dan masyrakat. 3. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan secara tegas dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi. Pasal 4 Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas siapapun juga, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta / konglomerat termasuk presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak berrsalah dan hak-hak asasi manusia. 2. Ciri-Ciri Korupsi menurut Syed Hussein Alatas • Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari dari satu orang. Inilah yang membedakan dengan pencurian atau penggelapan. • Korupsi umumnya melibatkan kerahasiaan, ketertutupan terutama motif yang melatarbelakangi dilakukannya perbuatan korupsi itu sendiri. • Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungan itu tidaklah selalu berbentuk uang. • Usaha untuk berlindung dibalik pembenaran hukum. • Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang dan mempengaruhi keputusan-keputusan itu. • Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum. • Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu. • Korupsi didasarkan atas niat kesengajaan untuk menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi. Menurut Alatas terdapat tiga tipe fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi: penyuapan (bribery), pemerasan (exortion), dan nepotisme. Ketiga tipe itu berbeda namun terdapat benang merah yang menghubungkan ketiga tipe korupsi itu yaitu penempatan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan pribadi dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan, yang dibarengi dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian atas kepentingan publik.Dalam masalah penyuapan Noonan memberikan deskripsi yang lebih jelas untuk membedakan penyuapan dengan pemberian hadiah. Hadiah yang sah biasanya dapat dibedakan dengan uang suap yang tidak sah. Hadiah dapat diberikan secara terbuka di depan orang ramai sedangkan uang suap tidak. Pembedaan ini dilakukan karena orang biasanya berkelit ketika dipaksa mengaku telah memberikan suap kepada orang lain maka alasan yang digunakan supaya lebih aman adalah bahwa yang diberikan adalah hadiah. Dalam melihat persoalan ini, aparat penegak hukum harus jeli untuk bisa mendefinisikan korupsi secara luas. Dari perspektif yuridis konsepsi korupsi dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada. Beberapa unsur untuk mengidentifikasikan korupsi dalam Undang-Undang tersebut: • Melawan Hukum • Memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi • Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara • Bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi • Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau kedudukannya. Beberapa pertanyaan untuk para korupsi 1. Siapa yang melakukan ? Korupsi dapat dilakukan oleh siapapun juga. Dari pengertian diatas maka yang potensial melakukannya adalah pegawai negeri namun tidak menutup kemungkinan pegawai swasta melakukan perbuatan itu. Mengapa? Karena pegawai negeri lah yang secara langsung berhubungan atau menjalankan birokrasi yang berbelit-belit dan bertingkat-tingkat sehingga memiliki peluang besar untuk melakukan korupsi. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi pegawai swasta untuk melakukan korupsi terutama yang sering melaksanakan proyek-proyek pemerintah. 2. Apa yang mereka lakukan ? Biasanya mereka melakukan penyesuaian-penyesuaian anggaran yang jauh dari kenyataan lapangan, suap-menyuap antar atasan dan bawahan atau antara pelaksana dan pengawas, pemberian hadiah-hadiah atau munculnya praktek-praktek diluar prosedur yang ada. Apa yang mereka lakukan melawan hukum atau aturan yang berlaku serta kepatutan yang ada pada masyarakat. Praktek itu tidak muncul secara tiba-tiba tetapi biasanya terencana atau sistemik. 3. Apa tujuannya ? Jelas, ada keinginan untuk memperkaya diri sendiri karena merasa pendapatan/gaji yang diterimanya tidak cukup sehingga berbagai cara halal dilakukan. Tidak tertutup kemungkinan maksud untuk memperkaya orang lain terutama orang-orang disekitarnya baik saudara maupun kolega, karena ketika kemudahan itu diperoleh oleh orang-orang disekitarnya maka suatu saat akan ada timbal balik yang didapatkannya. Selain itu keinginan untuk memperkaya suatu kelompok atau korporasi juga sangat dimungkinkan. Korporasi itulah yang diajak secara bersama-sama untuk melakukan korupsi. Banyak keuntungan yang bisa diperoleh. Selain tidak kelihatan pelaku nya secara orang perorangan, korporasi bekerja sangat rapi dengan berlindung dibalik kekuasaan, modal yang besar serta kedudukan yang dimilikinya. 4. Bagaimana hal itu dapat mereka lakukan ? Dengan jabatan dan kedudukan yang ada dengan mudah perbuatan tersebut dilakukan. Dari jabatan level yang paling rendah sampai paling tinggi ada kemungkinan untuk melakukan praktek korupsi. 5. Apa akibat perbuatan tersebut ? Perbuatan tersebut dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara sehingga rakyat yang akan menerima akibatnya. Harga-harga sembako melonjak, masyarakat miskin semakin banyak tetapi beberapa gelintir orang yang kaya mendadak. 6. Menangkap koruptor Dengan dalih bukti yang tidak cukup kejaksaan terlihat tidak serius menangani kasus korupsi apalagi yang menyangkut pejabat negara. Beberapa kasus korupsi tidak berhasil diselesaikan oleh Kejaksaan Agung. Padahal kalau kita merujuk kembali ke Undang-Undang yang ada maka dengan kewenangan yang luas bagi Kejaksaan Agung untuk melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap seorang koruptor. Kejaksaan Agung harus cepat mengambil sikap dengan memprioritaskan kasus korupsi dengan membuat BAP (berita Acara Pemeriksaan) untuk diajukan ke pengadilan dengan bukti-bukti yang cukup (sedikit bukti sudah bisa diajukan untuk mengajukan seseorang ke muka pengadilan). Dengan bukti tersebut maka seorang tersangkalah yang akan membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi. Seperti UU Anti Korupsi Malaysia (Prevention of Coruption Act Malaysia) yang menerapkan sistem pembuktian terbalik, menyatakan bahwa semua pemberian atau hadiah dianggap sebagai suap sampai terdakwa dapat membuktikan bahwa itu bukan suap. Dari kesederhanaan proses inilah sebenarnya ada harapan yang cukup besar bagi kita untuk menegakkan atau mengembalikan supremasi hukum melalui penyelesaian kasus korupsi. Tapi niat baik dibuatnya aturan ini tidak disambut positif oleh pejabat yang berwenang (dalam hal ini kejaksaan). Nampaknya pengadilan pun berbuat sama. Beberapa koruptor yang diajukan ke muka pengadilan lolos begitu saja karena intervensi pihak luar ke proses penyelesaian perkara di pengadilan sangat besar. Berdasarkan pengalaman tersebut maka Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengantisipasi ketidakberdayaan aparat dan institusi penegak hukum. Dengan pembentukan Komisi Anti korupsi diharapkan akan dapat menyelesaikan permasalahan mandul nya kejaksaaan dan pengadilan dalam menuntaskan kasus korupsi. 2.3 Korupsi dalam Pandangan Sosial. Korupsi pada zaman sekarang sudah bisa dibilang budaya atau kebiasaan untuk orang-orang yang menduduki jabatan tinggi atau terpandang. Kebiasaan korupsi di Indonesia juga tidak lepas dari buruknya sistem hukum di Indonesia yang mana sangat mudah untuk orang-orang besar untuk "menyuap" para penegak hukum di Indonesia. saat ini korupsi telah menjadi penyakit nasional bangsa kita. dapat kita jumpai perbuatan korupsi dalam segala lapisan masyarakat. terdapat fenomena yang muncul, yakni melakukan korupsi seperti melakukan perbuatan biasa yang tidak melanggar hukum. apa yang salah dalam masyarakat kita sehingga hal seperti ini seperti di "legalkan" ? kondisi sosial dan budaya merupakan salah satu aspek yang membuat tindakan korupsi ini menjadi tumbuh subur. dilihat dari kondisi sosial, faktor lingkungan pergaulan masyarakat yang memandang bahwa korupsi menjadi hal yang lazim akan dapat mengubah cara pandang seseorang terhadap tindakan korupsi. lingkungan pergaulan adalah faktor utama perubahan cara pandang atau perilaku seseorang terhadap sebuah masalah. kebiasaan masyarakat yang melazimkan korupsi ini akhirnya dapat menjadi sebuah "budaya". contohnya adalah budaya memberikan uang pelicin kepada petugas kelurahan agar proses pengurusan surat-surat berjalan dengan lancar. hal ini akhirnya berimbas besar pada sistem sosial budaya indonesia, membuat sebuah sistem baru, yakni yang berduit dialah yang berkuasa. sistem ini berlaku karena saat ini segala sesuatunya membutuhkan duit pelicin. sistem sosial budaya yang seperti ini akhirnya membuat perilaku korupsi tumbuh subur di indonesia. padahal, jika sistem ini tidak di tumbuh suburkan, masyarakat dapat memberi sanksi sosial terhadap koruptor yang cukup untuk membuat efek jera bahkan juga bisa meredam tingkat korupsi karena para pelakunya perlu bepikir panjang akan akibat yang mereka rasakan jika perbuatan mereka diketahui oleh masyarakat. sanksi sosial seperti ini sangat efektif, dapat kita lihat di jepang, bagaimana seorang pejabat akan merasa hilang harga dirinya jika dia ketahuan melakukan perbuatan tidak terpuji. karena sistim seperti ini belum tercipta di indonesia, maka para koruptor tidak segan segan dalam melakukan korupsi, bahkan bukan suatu hal yang aneh atau memalukan bagi mereka jika tertangkap tangan melakukan korupsi. semoga, sistem sosial dan budaya yang ada di masyarakat dapat kembali berfungsi sebagai pengontrol anggota masyarakat itu sendiri.   Bab III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Korupsi adalah suatu tindak pidana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan keungan atau perekonomian Negara. Korupsi (bahasa Latin: Corruptio dari kata kerja Corrumpere yang bermakna busuku, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 pasal 2 ayat (1) UU TPK menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tujuan dari praktek-praktek diatas tercantum dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. saat ini korupsi telah menjadi penyakit nasional bangsa kita. dapat kita jumpai perbuatan korupsi dalam segala lapisan masyarakat. terdapat fenomena yang muncul, yakni melakukan korupsi seperti melakukan perbuatan biasa yang tidak melanggar hukum. apa yang salah dalam masyarakat kita sehingga hal seperti ini seperti di "legalkan", kondisi sosial dan budaya merupakan salah satu aspek yang membuat tindakan korupsi ini menjadi tumbuh subur. dilihat dari kondisi sosial, faktor lingkungan pergaulan masyarakat yang memandang bahwa korupsi menjadi hal yang lazim akan dapat mengubah cara pandang seseorang terhadap tindakan korupsi. lingkungan pergaulan adalah faktor utama perubahan cara pandang atau perilaku seseorang terhadap sebuah masalah. kebiasaan masyarakat yang melazimkan korupsi ini akhirnya dapat menjadi sebuah "budaya. 3.2 Saran Menurut saya sebagai mahasiswa yang bisa saya lakukan untuk membenarkan atau mengurangi Korupsi di Indonesia mulai lah dari hal-hal kecil seperti tidak mencari keuntungan yang bukan hak kita untuk membohongi teman, orang tua dan orang-orang lain di sekitar kita. Karena untuk mengubah hal-hal besar baik itu positif atau negatif mualailah dari diri kita dan sekeliling kita.   DAFTAR PUSTAKA http://dunialainbrama.blogspot.com/2012/10/pandangan-korupsi-menurut-sistem-sosial.html http://azmiafi.blogspot.com/ http://hukum.kompasiana.com/2012/10/12/memandang-korupsi-dari-sudut-pandang-hukum-501231.html http://tamaeuehara.blogspot.com/2012/04/korupsi-menurut-pandangan-hukum-di.html

Related Posts:

REVOLUSI MENTAL DAN NAWA CITA SERTA PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang tengah dilanda krisis multidimensi yang berkepanjangan. Ketika Negara-negara lain (Thailand, Korea Selatan, Malaysia, dan lain-lain) telah bangkit dengan segera setelah mengalami krisis moneter yang melanda Asia pada tahun 1997, Indonesia sampai saat ini masih terus mengalami krisis, dan masih kelihatan suram untuk bangkit dari keterpurukan. Krisis ini sebenarnya mengakar pada menurunnya kualitas moral bangsa atau lemahnya mentalitas dan hancurnya karakter generasi muda. Tantangan globalisasi yang ada di hadapan kita merupakan hal yang tak bisa diingkari. Revolusi teknologi, transportasi, informasi, dan komunikasi menjadikan dunia ini tanpa batas. Kita bisa mengetahui sesuatu yang terjadi di belahan benua lain dalam hitungan detik melalui internet dan lain-lain. Pengetahuan dan teknologi menjadi garda depan yang harus diprioritaskan dalam era globalisasi. Jepang, Singapura, Malaysia, Korea Selatan sudah berlari tunggang langgang untuk mengejar ketertinggalan dan mengubah diri tidak hanya sebagai penonton pasif, tapi juga actor kreatif yang ikut dalam proses kompetensi ketat globalisasi. Menurut M. Mastuhu (2007: 49-50), globalisasi memberi peluang bagi siapa saja yang mau dan mampu memanfaatkannya, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepantingan manusia lainnya. Menurut A. Qodri Azizy (2004: 26), kata kunci globalisasi adalah kompetensi. Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia sendiri disaat semua Negara berpacu dan berlomba membuat teknologi secanggih mungkin untuk mengimbangi globalisasi, Indonesia malah sibuk dengan permasalahan dan semakin terpuruk. Globalisasi sudah menembus semua penjuru dunia, bahkan sampai daerah terpencil sekalipun, masuk ke rumah-rumah, membombardir pertahanan moral dan agama, sekuat apa pun dipertahankan. Televise, internet, Koran, handphone, dan lain-lain adalah media informasi dan komunikasi yang berjalan dengan cepat, menggulung sekat-sekat tradisional yang selama ini dipegang sekuat-kuatnya. Moralitas menjadi melonggar. Sesuatu yang dulu dianggap tabu, sekarang menjadi biasa-biasa saja. Cara berpakaian, berinteraksi dengan lawan jenis, menikmati hiburan di tempat-tempat special dan menikmati narkoba menjadi tren dunia modern yang sulit ditanggulangi. Globalisasi menyediakan seluruh fasilitas yang dibutuhkan manusia, positif maupun negative. Banyak manusia terlena dengan menuruti semua keinginannya, apalagi memiliki rezeki melimpah dan lingkungan kondusif. Akhirnya, karakter bangsa berubah menjadi rapuh, mudah diterjang ombak, terjerumus dalam tren budaya yang melenakan, dan tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan. Prinsip-prinsip moral, budaya bangsa, dan perjuangan hilang dari karakteristik mereka. Inilah yang menyebabakan dekadensi moral serta hilangnya kreativitas dan produktivitas bangsa. Sebab, ketika karakter suatu bangsa rapuh maka semangat berkreasi dan berinovasi dalam kompetensi yang kekat akan mengendur, dan mudah dikalahkan oleh semangat konsumerisme, hedonism, dan pesimisifisme yang instan dan menenggelamkan. Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi membuat sebuah gebrakan dalam masa pemerintahannya yaitu tentang Revolusi Mental yang ada dalam poin ke delapan dalam Nawa Cita, khusunya revolusi mental dalam dunia pendidikan. Karena pendidikan adalah awal dari generasi muda yang berkarakter. Program ini diharapkan mampu mengubah dan membenahi karakter bangsa Indonesia. Namun, saat ini revolusi mental ini sedang menjadi sorotan dan menjadi pertanyaan khalayak umum. Berawal dari permasalahan di atas, maka penyusun membuat makalah yang berjudul “REVOLUSI MENTAL DAN NAWA CITA SERTA PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA” untuk mendalami tentang Revolusi mental dalam dunia pendidikan itu sendiri. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana revolusi mental? 2. Bagaimana nawa cita? 3. Bagaimana pendidikan karakter di Indonesia? C. Tujuan Penyusunan Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Karakter Bangsa. 2. Untuk mengetahui revolusi mental. 3. Untuk mengetahui nawa cita. 4. Untuk mengetahui pendidikan karakter di Indonesia. BAB II PEMBAHASAN A. Revolusi Mental dan Nawa Cita Mendengar kata revolusi mental bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia, karena sebelumnya presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno telah mencetuskan ini. Namun, belakangan ini kata revolusi mental tengah hangat menjadi topic pembicaraan di beberapa media. Karena kata revolusi mental ini menjadi jargon atau program pemerintahan presiden Jokowi yang tertuang dalam nawa cita poin ke delapan. Nawacita adalah istilah umum yang diserap dari bahasa Sanskerta, nawa (sembilan) dan cita (harapan, agenda, keinginan). Seiring dengan kemenangan Bapak Joko Widodo dan Yusuf Kalla dalam pilpres 9 Juli 2014, maka tampaknya kita akan memasuki era perubahan yang siknifikan (semoga) melalui kosep REVOLUSI MENTAL yang dicanangkan oleh Presiden Baru periode 2014-2019 itu. Konsep revolusi mental nampaknya dapat menjadi sebuah harapan yang bisa kita terapkan untuk membangun mental masyarakat Indonesia yang kuat. Revolusi mental ditujukan untuk pembangunan manusia dan pembangunan sosial. Pembangunan manusia melingkupi 3 dimensi, yaitu sehat, cerdas, berkepribadian. Sehat berarti dimulai dengan fisik kita yang senantiasa fit dan bugar. Cerdas berarti mengarah pada otak kita yang selalu berpikir dan diasah sehingga memiliki kemampuan analisis yang tajam dan berkualitas. Sedangkan berkepribadian adalah kaitannya dengan kehendak yang berbudi pekerti luhur. Perlunya revolusi mental adalah karena penyakit seperti emosi/mental/jiwa akan berdampak pada individu berupa malasnya seseorang dan tidak mempunyai karakter. Kemudian dampaknya akan menular kepada masyarakat yang ditandai dengan gangguan ketertiban, keamanan, kenyamanan, kecemburuan sosial, dan ketimpangan sosial. Lebih jauh lagi, akan berdampak negatif pada bangsa dan negara. Bangsa kita akan lemah dan menjadi tidak bermartabat. Kemudian produktivitas dan daya saing kita menjadi rendah. Cukup menarik ketika revolusi mental adalah jembatan menuju Indonesia yang berkepribadian. Dimulai dari diri sendiri, menjadi manusia cerdas dengan metode belajar yang serius, terus berlatih, memanfaatkan prasaran dan sarana yang sudah tersedia (sambil berharap pemerintah memperbaiki/melengkapinya), meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan belajar, serta membiasakan budaya membaca. Menjadi manusia sehat jasmani dengan menjaga kesehatan diri dan pemeliharaan lingkungan. Karena substansi revolusi mental ada pada pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, pendidikan berbudi pekerti luhur, serta pendidikan demokrasi dan sadar hukum. 1. Pengertian Revolusi Mental Revolusi (dari bahasa latin revolutio, yang berarti "berputar arah") adalah perubahan fundamental (mendasar) dalam struktur kekuatan atau organisasi yang terjadi dalam periode waktu yang relatif singkat. Kata kuncinya adalah Perubahan dalam Waktu Singkat. Revolusi mental merupakan suatu gerakan seluruh masyarakat baik pemerintah atau rakyat dengan cara yang cepat untuk mengangk kembali nilai-nilai strategi yang diperlukan oleh Bangsa dan Negara untuk mampu menciptakan ketertiban dan Kesejahteraan rakyat sehingga dapat memenangkan persaingan di era globalisasi. Revolusi mental mengubah cara pandang, pikiran, sikap dan perilaku yang berorientasi pada kemajuan dan kemoderenan, sehingga menjadi bangsa besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berikut ini pendapat tentang revolusi mental menurut Bung Karno sebagai pencetus dan menurut Joko Widodo: a) Bung Karno : Revolusi mental merupakan satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang putih, berkemampuan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api menyala-nyala. b) Joko Widodo : Usaha lebih memperkokoh kedaulatan, meningkatkan daya saing dan mempererat persatuan bangsa, Kita perlu melakukan Revolusi Mental. 2. Tiga Pokok Permasalahan Bangsa a) Merosotnya wibawa bangsa b) Lemahnya sendi perekonomian bangsa c) Intoleransi dan krisis kepribadian bangsa. 3. Visi dan Misi Pemerintahan Jokowi – JK Visi: “Terwujudnya Indonesia yang berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong” Misi: a) Mewujudkan keamanan nasioanal yang mampu menjaga kedaulatan wiliyah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumberdaya mariti, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai Negara kepulauan. b) Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan Negara hukum. c) Mewujudkan politik Luar Negeri dan memperkuat jatidiri sebagai Negara maritim. d) Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera. e) Mewujudkan Bangsa yang berdaya saing. f) Mewujudkan Indonesia menjadi Negara maritime yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. g) Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dan kebudayaan. 4. Sembilan Agenda Prioritas (Nawa Cita) Adapun 9 agenda prioritas (Nawa Cita) a) Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap dan memberikan rasa aman pada suluruh warga Negara. b) Membuat Pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola Pemerintah yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. c) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan d) Menolak Negara lemah dengan melakukan reformasi system dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. e) Meningkatka kualitas hidup manusia. f) Mewujudkan melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program Indonesia Pintar, Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera.kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. g) Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. h) Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia. i) Memperteguh ke-bhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan ke-bhinekaan. 5. Tujuan Revolusi Mental Adapun tujuan revolusi mental adalah sebagai berikut: a) Mengubah cara pandang, piker dan sikap, perilaku dan cara kerja. b) Membangkitkan kesadaran dan membangun sikap optimistic c) Mewujudkan Indonesia yang berdaulat, berdikari dan berkprebadian. 6. Delapan Prinsip Revolusi Mental a) Bukan proyek tapi gerakan social. b) Ada tekad politik untuk menjamin kesungguhan pemerintah. c) Harus bersifat lintas-sektoral. d) Bersifat partisipasi (kolaborasi pemerintah, masyarakat sipil, sector privat, dan akademisi) e) Diawali dengan pemicu. f) Desainn program harus ramah pengguna, popular, menjadi bagian dari gaya hidup dan sistemik-holistik (bencana semesta) g) Nilai-nilai yang dikembangkan bertujuan mengatur kehidupan social (moralitas public) h) Dapat diukur dampaknya. 7. Tiga Nilai Revolusi Mental a) Integrasi (jujur, dipercaya, berkarakter, bertanggung jawab) b) Etos kerja (etos kerja, daya saing, optimis, inovatif dan produktif) c) Gotong royong (kerja sama, solidaritas, komunai, berorientasi pada kemaslahatan) 8. Strategi Internalisasi 3 Nilai Revolusi Mental a) Jalur birokrasi Internalisasi 3 nilai revolusi mental pada Kementrian/Lembaga melalui: 1) Pembentukan tugas gugus dan pic 2) Tersusunnya program, kegiatan nyata berbasis nilai-nilai revolusi mental. 3) Menjadi contoh tauladan (role model) b) Jalur swasta 1) Memperkuat kemitraan antara pengusaha kecil dan pengusaha besar. 2) Inseftif pengurangan pajak bagi pengusaha Indonesia yang mengembangkan produk local inovatip. 3) Instruksi presiden kepada pengusaha media untuk berkolaborasi mempromosikan revolusi mental. 4) Mengembangkan lembaga keuangan mikro di desa. 5) Mendukung inisiatif uaha menengah membuka pasar/sentral yang menjual produk local yang inovatif, kreatif dan harga terjangkau. c) Jalur kelompok masyarakat 1) Pembudayaan 3 nilai revolusi mental dalam kelompok masyarakat 2) Membangun role model 3) Aspirasi terhadap kelompok masyarakat 4) Keteladanan oleh tokoh d) Jalur pendidikan 1) Memperkuat kurikulum pendidikan kewarganegaraan pada semua jenjang, jenis dan jalur pendidikan untuk membangun integrasi, membentuk etos kerja keras dan semangat gotong royong. 2) Menerapka ekstra kurikuler revolusi mental di sekolah. 3) Meningkatkan sarana pendidikan yang merata. 4) Meningkatkan kompotensi guru dalam mendudkung revolusi mental. B. Pendidikan Karakter di Indonesia “Sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran, ketika karakternya tergadai” (Thomas Lickona, 1992) Pendidikan karakter ini muncul sejak tahun 2010, pada masa itu menteri Pendidikan M. Nuh membuat kebijakan pendidikan di Indonesia harus berkarakter guna melahirkan generasi emas Indonesia 2020. Hal dikarenakan saat ini Indonesia mengalami krisis karakter, fenomena ini dapat kita lihat dari dari potret pendidikan di Indonesia. Persoalan praktik-praktik kebohongan dalam dunia pendidikan mulai dari menyontek pada saat ujian sampai plagiarisme hak cipta dan perjokian Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) serta praktik jual-beli izajah palsu. Jika sebagai peserta didik saja sudah terbiasa dengan tipu-menipu alias manipulasi ujian, maka ketika nanti sudah lulus dan bekerja akan kembali melahirkan para koruptor baru dan budaya korupsi tidak akan pernah hilang di Negara kita. Dunia pendidikan sangat bertanggung jawab dalam meghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki akademis bagus dan moral yang baik. Walaupun pada kenyataannya potret pendidikan di Negara kita dari segi akademis sangat bagus tetapi dari segi karakter ternyata masih bermasalah. Siapa yang tidak mengelus dada ketika melihat seorang pelajar yang tidak punya sopan santun, pendendam, mencontek, hobi narkoba, tawuran, membolos sekolah, aborsi, berjudi bahkan bagus nilainya untuk “mata pelajaran” pornografi. Contoh-contoh tersebut merupakan jenis kenakalan pelajar yang umum. Namun, tidak menutup mata pelajar yang patut dibanggakan juga ada, seperti mereka yang menjuarai olimpiade sains, baik ditingkat nasional maupun internasional. Bahkan, ada pelajar Indonesia yang berhasil menjadi juara umum dalamInternational Conference of Young Scientists (ICYS) atau Konferensi Internasional Ilmuan Muda se-Dunia yang diikuti ratusaan pelajar SMA dari 19 negara di Bali pada 12-17 April 2010. Manakala Indonesia dikatakan oleh banyak pihak sebagai negara yang soft nationdan rapuhnya moral anak bangsa, pendidikan dituding gagal dalam menciptakan sumber daya manusia berkualitas. Institusi-institusi pendidikan terutama sekolah-sekolah dinilai gagal memenuhi tujuan pendidikan. Kegagalan pendidikan di Indonesia menghasilkan manusia yang berkarakter diperkuat oleh pendapat I Ketut Sumarta dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan yang Memekarkan Rasa”. Dalam tulisannya, Ketut Sumarta mengungkapkan bahwa pendidikan nasional kita cenderung hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir dan menepikan penempatan kecerdasan rasa, kecerdasan budi, bahkan kecerdasan batin. Dari sini lahirlah manusia-manusia yang berotak pintar, manusia yang berprestasi secara kuantitatif akademik, tetapi tidak berkecerdasan budi sekaligus sangat bertentangan tidak mandiri. Dalam dunia pendidikan, terdapat tiga ranah yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotrik. Ranah kognitif berorientasi pada ilmu pengetahuan dan teknlogi, ranah afektif berkaitan dengan (sikap) attitude, moralitas, spirit, dan karakter, sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan keterampilan bersifat procedural dan cenderung mekanis. Dalam realitas pembelajaran di sekolah, usaha untuk menyeimbangkan ketiga ranah tersebut memang selalu diupayakan, tetapi pada kenyataannya yang dominan adalah ranah kognitif, kemudian psikmotorik. Akibatnya adalah peserta didik kaya akan kemampuan bersifat hard skill, tetapi miskin soft skill karena ranah afektif terabaikan. Gejala ini tampak pada output pendidikan yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, pintar, juara kelas, tetapi miskin kemampuan membangun relasi, kurang mampu berinteraksi dan bekerjasama, cenderung egois serta menjadi pribadi yang tertutup. Padahal, pendidikan pada esensinya merupakan sebuah upaya membangun kecerdasan manusia, baik kecerdasan kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Oleh karena itu, pendidikan secara terus menerus dibangun dan dikembangkan agar menghasilkan generasi yang unggul; unggul dalam ilmu, iman dan amal. Ada pepatah mengatakan, “Jika engkau ingin melihat masa depan suatu bangsa, lihatlah kondisi generasi penerusnya hari ini ”. Dengan demikian, pembentukan karakter terbaik pada anak menjadi hal yang sangat penting karena anak merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan eksistensi bangsa. Berbagai pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, menyatakan bahwa terbentuknya karakter kpribadian manusia ditentukan oleh factor nature dan nurture, dan tidak ada kata terlambat dalam membentuk karakter anak bangsa. Bangsa Indonesia pasti tidak ingin menjadi bangsa yang tertinggal dan terbelakang. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk kemajuan dan memperbaiki kualitas bangsa, seperti, pembaharuan kurikulum, peningkatan anggaran, atau standarisasi kompetensi pendidikan. Namun, usaha tersebut dirasa masih belum mencapai hasil yang diharapkan sesuai tujuan pendidikan itu sendiri. Tingginya biaya sekolah, buruknya fasilitas-fasilitas sekolah di daerah-daerah pelosok, minimnya kesejahteraan dan kualitas guru, melengkapi masalah bangsa ini. Guna menghadapi kecanggihan teknologi dan komunikasi yang terus berkembang, perbaikan sumber daya manusia juga perlu terus diupayakan untuk membentuk manusia yang cerdas, terampil, mandiri dan berakhlak mulia. Berbagai wacana pun santer disebarkan. Salah satuya adalah wacana pendidikan karakter yang dianggap mampu memberikan jawaban atas kebuntuan permasalahan dalam sistem pendidikan. Kita sebenarnya sudah terlambat dalam menerapkan pendidikan karakter, tetapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Ada yang mengatakan bahwa percuma menerapkan pendidikan karakter karena negara kita sudah terlanjur banyak korupsi. Pemikiran tersebut merupakan pemikiran yang terlalu pesimis. Masih banyak generasi muda kita yang duduk di bangku sekolah dan dengan butuh pendidikan karakter agar di masa depan menjadi manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual saja, tapi juga karakter. Dan lembaga pendidikan diharapkan dapat menjadi motor penggeraknya serta guru diharapkan menjadi peran utamanya Lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga sosial lainnya di Indonesia memiliki beban yang sangat berat dalam menghadapi pelemahan nilai, pelemahan moral dan orientasi kebangsaan seperti masalah cinta tanah air, ikatan kebangsaan, solidaritas kebangsaan jatidiri bangsa dan lebih luas lagi dalam membela martabat dan kedaulatan bangsa di tengah berbagai ekspansi nilai-nilai luar yang memperlemah kebangsaan. Menurut William Bernnett (1991), sekolah merupakan sebuah lembaga pendidikan yang memiliki peran dan tanggung jawab terhadap pembentukan karakter anak (character building). Apalagi , bagi anak didik yang tidak mendapatkan pendidikan karakter sama sekali di lingkungan dan keluarga mereka. Oleh karena itu, peran dan kontribusi guru sangat dominan karena anak didik sangat membutuhkan bimbingan sebab anak belum siap menghadapi problem yang terjadi di lingkungan masyarakat. Sebagai sebuah lembaga, sekolah memiliki tanggung jawab moral untuk mendidik anak agar pintar, cerdas, serta memiliki karakter positif sebagaimana diharapkan setiap orang tua. Namun sekarang ini, banyak orang tua mengeluh bahwa pendidikan karakter di sekolah telah diabaikan. Tampaknya, hal tersebut disebabkan gagasan pendidikan karakter masih berada dalam wilayah konsep semata yang terletak dibenak para pendidik dan pemerhati pendidikan serta hanya menjadi komoditas isu pendidikan yang menjadi wacana. Sekolah harus merespon kenyataan tersebut dengan membumikan gagasan pendidikan karakter, yaitu dengan mengimplementasikan atau menerapkan gagasan pendidikan karakter melalui berbagai strategi untuk membentuk peserta didik yang berkarakter. Tanpa karakter yang positif, seseorang dengan mudah melakukan sesuatu apa pun yang dapat menyakiti atau menyengsarakan orang lain. Oleh karena itu, kita perlu membentuk karakter untuk mengelola diri dari hal-hal yang negative. Karakter yang terbangun diharapkan akan mendorong setiap manusia untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan suara hatinya. Pendidikan secara filosofis merupakan satu kesatuan dengan kehidupan, yang menunjukan proses bagaimana manusia mengenal diri dengan segenap potensi yang dimilikinya dan memahami apa yang tengah dihadapinya dalam realitas kehidupan nyata (Suyanto, 2006: ix). Pendidikan adalah proses yang memanusiakan manusia yang terus-menerus dialami sepanjang hayat. Pendidikan mencakup segala aspek keseharian saat seseorang belajar, mengamati, mendengarkan, membaca, menonton, bekerja dan lain sebagainya. Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan pada Pasal 3, yang berbunyi pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang harus dilaksanakan secara sistematis. Hal ini berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Meninjau dari fungsi pendidikan itu sendiri dan dilihat dari permasalahan yang ada, sebenarnya hal tersebuat merupakan asal-usul adanya kurikulum 2013 atau disingkat dengan K13. Pendidikan karakter di Indonesia sudah diterapkan oleh beberapa sekolah atau lembaga pendidikan. Salah satunya system Bourding School atau memadukan antara sekolah dan pesantren. Selain itu, untuk yang hanya sekolah saja. Sekolah membuat program sendiri tentang pendidikan karakter mulai dari kultur sekolah, ekstrakulikuler yang dapat membangun karakter anak bangsa seperti pramuka. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Adapun dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Revolusi mental merupakan program pemerintahan Jokowi-JK yang tertuang dalam Nawa Cita Point ke-8, dan untuk melaksanakan programnya Bapak Presiden Joko Widodo membuat sebuah kebinet yaitu cabinet kerja. 2. Pendidikan karakter ini merupakan aplikasi dari revolusi mental dalam dunia pendidikan, mengingat banyak sekali permasalahan pendidikan dan pendidikan sangat bertanggung jawab dalam melahirkan generasi yang berkarakter. 3. Permasalahan yang saat ini di alami Indonesia, terutama koropsi. Permasalahan ini dianggap bahwa pendidikan telah gagal menciptakan manusia berkarakter. Inilah yang menjadi PR buat kita semua. B. Saran 1. Buktikan kepada masyarakat bahwa revolusi mental bukan hanya sekedar jargon saat kampanye, tetapi merupakan sebuah tindakan nyata pemerintahan. 2. Berilah pendidikan politik yang mendidik masyarakat bukan kekuasaan partai politik. 3. Pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah tapi merupakan tanggung jawab bersama. Kalaupun ada ketimpangan jangan salahkan semua kegagalan sekolah, karena hal ini bukan hanya disebabkan factor sekolah.   DAFTAR PUSTAKA Djudjun Djaenudin Supriadi, “Program Pendidikan Karakter di Lingkungan BPK PENABUR Jakarta,” dalam Jurnal Pendidikan Karakter, Nomor 10, Tahunke 7, Juni 2008, Doni Koesuma, Pendidik Karakter di Zaman Keblinger (Jakarta: Grasindo, 2009), Sofyan Sauri, “Membangun Bangsa Berkarakter Nilai Iman dan Taqwa dalam Pelajaran”, dalam Makalah, disampaikan pada Acara Seminar Nasional Pendidikan Paparan Deputi SDMK Penutupan Pra-Mesrenbabangnas 2015 Revolusi Mental. Paparan SESMENKO Revolusi Mental BAKOHUMAS www.Wikipedia.com //definisi nawacita

Related Posts:

notaris bukan pegawai negeri sehingga tidak bisa di samakan dengan pegawai negeri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum, sekaligus pula sebagai sebuah profesi, posisinya sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat. Notaris seyogianya berada dalam ranah pencegahan (preventif) terjadinya masalah hukum melalui akta otentik yang dibuatnya sebagai alat bukti yang paling sempurna di pengadilan. Tidak dapat dibayangkan bila Notaris justru menjadi sumber masalah bagi hukum akibat akta otentik yang dibuatnya dipertanyakan kredibilitasnya oleh masyarakat. Sejarah mencatat awal lahirnya profesi jabatan Notaris adalah profesi kaum terpelajar dan kaum yang dekat dengan sumber kekuasaan. Para Notaris ketika itu mendokumentasikan sejarah dan titah raja. Para Notaris juga menjadi orang dekat Paus yang memberikan bantuan dalam hubungan keperdataan. Bahkan pada abad kegelapan ( Dark Age 500 – 1000 setelah Masehi) dimana penguasa tidak bisa memberikan jaminan kepastian hukum, para Notaris menjadi rujukan bagi masyarakat yang bersengketa untuk meminta kepastian hukum atas sebuah kasus. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejak awal lahirnya profesi jabatan Notaris, termasuk jabatan yang prestisius, mulia, bernilai keluhuran dan bermartabat tinggi. Lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Nomor 30 Tahun 2004 yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Oktober 2004, sebagaimana ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117 yang terdiri dari 13 Bab dan 92 Pasal tersebut semakin mempertegas posisi penting Notaris sebagai pejabat umum yang memberikan kepastian hukum melalui akta otentik yang dibuatnya. Landasan filosofis lahirnya Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran, dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta Notaris serta memberikan akses terhadap informasi termasuk akses terhadap peraturan perundangundangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta Notaris dalam menjalankan jabatannya berperan secara tidak memihak dan bebas (unpartiality and Independency). Notaris merupakan pejabatan umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta yang dibuat dihadapan Notaris merupakan bukti otentik, bukti paling sempurna, dengan segala akibatnya. Jabatan Notaris adalah jabatan umum atau publik karena Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, Notaris menjalankan tugas negara, dan akta yang dibuat, yaitu minuta (asli akta) adalah merupakan dokumen negara. Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan umum (pemerintah) dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu, karena itu ia ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah. Meskipun Notaris adalah pejabat umum/publik yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, namun Notaris bukan pegawai pemerintah/negeri yang memperoleh gaji dari pemerintah. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian tidak berlaku terhadap Notaris. Notaris adalah pejabat umum/publik yang juga melaksanakan kewibawaan pemerintah dibidang hukum tapi tidak memperoleh gaji dari pemerintah. Namun Notaris bukanlah pejabat Tata Usaha Negara sehingga Notaris tidak bisa dikenakan tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 11 a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan penegasan kepada Notaris sebagai pejabat umum. Pasal 1868 tersebut menyatakan bahwa, Suatu akta otentik, ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh/dihadapan pejabat umum yang berwenang ditempat dimana akta itu dibuat. Namun demikian Notaris bukanlah satu-satunyaa pejabat umum yang ditugasi oleh undang-undang dalam membuat akta otentik. Ada pejabat umum lainnya yang ditunjuk undang-undang dalam membuat akta otentik tertentu seperti pejabat kantor catatan sipil dalam membuat akta kelahiran, perkawinan dan kematian, Pejabat kantor lelang negara dalam membuat akta lelang, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam membuat akta otentik dibidang pertanahan Kepala Kantor Urusan Agama dalam membuat akta nikah, talak dan rujuk dan lain sebagainya. Namun secara umum dapat dikatakan Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang yang cukup besar dalam membuat hampir seluruh akta otentik. Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dengan dilandasi kepribadian yang luhur dengan senantiasa melaksanakan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku sekaligus menjunjung tinggi kode etik profesi Notaris sebagai rambu yang harus ditaati. Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik harus dapat mempertanggungjawabkan akta yang dibuatnya tersebut apabila ternyata dikemudian hari timbul masalah dari akta otentik tersebut. Masalah yang timbul dari akta yang dibuat oleh Notaris perlu dipertanyakan, apakah akibat kesalahan dari Notaris tersebut atau kesalahan para pihak yang tidak memberikan keterangan, dokumen yang dibutuhkan secara jujur dan lengkap kepada Notaris. Apabila kesalahan yang terjadi pada pembuatan akta otentik tersebut berasal dari para pihak yang melakukan perbuatan hukum dengan memberikan keterangan tidak jujur dan dokumen tidak lengkap (disembunyikan) oleh para pihak, maka akta otentik yang dibuat Notaris tersebut mengandung cacat hukum, dan bila karena keterangan para pihak yang tidak jujur atau menyembunyikan sesuatu dokumen penting yang seharusnya diperlihatkan kepada Notaris, maka para pihak yang melakukan perbuatan tersebut dapat saja dikenakan tuntutan pidana oleh pihak lain yang merasa dirugikan dengan dibuatnya akta otentik tersebut. Pasal pidana yang dapat digunakan untuk melakukan penuntutan pidana terhadap para pihak tersebut adalah Pasal 266 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) yang menyatakan “Barang siapa menyuruh mencantumkan suatu keterangan palsu mengenai suatu hak di dalam suatu akta otentik yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta tersebut dengan maksud untuk mempergunakannya atau untuk menyuruh orang lain mempergunakannya seolah-olah keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun jika penggunaannya dapat menimbulkan suatu kerugian. Batas-batas kewenangan seorang Notaris dalam pembuatan akta diatur di dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, Kode Etik Notaris dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sepanjang Notaris yang bersangkutan mematuhi dan mentaati aturan-aturan yang terdapat dalam UUJN maupun kode etik Notaris maka Notaris yang bersangkutan akan aman dari segala tindakan atau perbuatan yang melawan hukum terutama bidang hukum pidana. Apabila ketentuan pada UUJN dilanggar terutama dengan memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik, maka pada fase tersebut Notaris dapat dijadikan sebagai tersangka. Fase berikutnya apabila akta yang dibuat Notaris tersebut nyata-nyata karena kesalahannya atau kesengajaannya oleh karena kehendak jahat, maka pada fase tersebut Notaris yang bersangkutan dapat dijadikan sebagai terdakwa. Apabila pengadilan melalui Majelis Hakim dapat membuktikan secara fakta hukum, Notaris tersebut terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan maka pada fase itu Notaris tersebut telah menjadi seorang terpidana melalui suatu keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sanksi-sanksi terhadap Notaris mengenai pelanggaran administratif dilakukan oleh Dewan Kehormatan Notaris, dalam hal ini adalah Dewan Kehormatan Daerah (Kabupaten/Kota), Dewan Kehormatan Wilayah (Propinsi) dan Dewan Kehormatan Pusat (Jakarta). Sanksi yang dijatuhkan kepada seorang Notaris yang melanggar ketentuan administratif adalah berupa teguran (lisan/tertulis) surat peringatan maupun pemberhentian sementara (skorsing). 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka timbul beberapa permasalahan yang perlu di bahas, sebagai berikut : 1. Apa yang di maksud dengan Notaris ? 2. Bagaimana Kode etik Notaris ? 1.3 Tujuan Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan ? 2. Memahami Bagaimana Kode Etik Notaris ? 1.4 Manfaat Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu : 1. Secara Teoritis Hasil penyusunan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan masukan untuk penambahan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang hukum, yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum dibidang kenotariatan 2. Secara Praktis Hasil penyusunan ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat, aparat pemerintah yang terkait dengan penanganan Notaris,   BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Notaris Kata notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan nara sumber. Tanda atau karakter yang dimaksud adalah tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Pada awalnya jabatan notaris hakikatnya adalah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan hukum keperdataan. Jadi, sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat. Notaris seperti yang dikenal di zaman “Republik der Verenigde Nederlanden” mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya “Oost Ind. Compagnie” di Indonesia. Lima tahun kemudian, yakni pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan “notaris publik” dipisahkan dari jabatan “secretaries van den gerechte” dengan surat keputusan Gubernur Jenderal tanggal 12 November 1620, maka dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para notaris di Indonesia, yang hanya berisikan 10 pasal, di antaranya ketentuan bahwa para notaris terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya. Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai tahun 1822, notariat ini hanya diatur oleh 2 buah reglemen yang agak terperinci, yakni dari tahun 1625 dan 1765.8 Di dalam tahun 1822 (Stb. No. 11) dikeluarkan “Instructie voor de notarissen in Indonesia” yang terdiri dari 34 pasal. Pada tahun 1860 diundangkanlah suatu peraturan mengenai Notaris yang dimaksudkan sebagai pengganti peraturan-peraturan yang lama, yaitu PJN (Notaris Reglement) yang diundangkan pada 26 Januari 1860 dalam Staatblad Nomor 3 dan mulai berlaku pada 1 Juli 1860. Inilah yang menjadi dasar yang kuat bagi pelembagaan notaris di Indonesia. Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah yang tidak menerima gaji dari pemerintah, notaries dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pension dari pemerintah. Oleh karena itu, bukan saja notaris yang harus dilindungi tetapi juga para konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa notaris. Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai wewenang dengan pengecualian, dengan mengkategorikan notaries sebagai pejabat publik, dalam hal ini publik yang bermakna hukum. Notaris sebagai pejabat publik tidak berarti sama dengan Pejabat Publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, hal ini dapat dibedakan dari produk masing-masing Pejabat Publik tersebut. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Seorang Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus memiliki keterampilan profesi di bidang hukum juga harus dilandasi dengan tanggungjawab dan moral yang tinggi serta pelaksanaan terhadap tugas jabatannya maupun nilai-nilai dan etika, sehingga dapat menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan hukum dan kepentingan masyarakat. Notaris dalam melaksanakan tugasnya secara profesional harus menyadari kewajibannya, bekerja sendiri, jujur, tidak berpihak dan penuh rasa tanggungjawab dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang memerlukan jasanya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan umum (public). 2.1.1 Persyaratan Jabatan Notaris Untuk menjadi seorang notaris diperlukan sejumlah persyaratan, pendidikan hukum adalah suatu keharusan bagi calon notaris. Setelah lulus dari fakultas hukum, seseorang tidak dapat langsung menjadi notaris. Seorang calon notaris wajib mengikuti kuliah bidang kenotariatan atau menempuh pendidikan S2 hukum bidang kenotariatan. Setelah menempuh kuliah di bidang hukum dan S2 kenotariatan, calon notaris masih diharuskan mengikuti pembekalan selama tiga bulan dan selanjutnya magang selama kurang lebih satu tahun. Menurut Ira Koesoemawati & Yunirman Rijan, masih ada beberapa beberapa persyaratan untuk menjadi notaris di Indonesia, yaitu: 1. Secara umum, syarat menjadi calon notaris adalah orang yang berkewarganegaraan Indonesia. 2. Memiliki kedewasaan yang matang. Dengan kemampuan hukum yang mumpuni dan kedewasaan mental yang baik, maka keputusan-keputusan yang diambil merupakan keputusan yang berkualitas. 3. Tidak memiliki catatan kriminal. Terbebas dari catatan kriminal merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Ada kekhawatiran bahwa jika seseorang pernah berbuat kriminal maka di masa depan ia tidak segan untuk mengulanginya kembali. Meskipun tidak ada jaminan bahwa mereka yang bersih dari catatan kriminal akan selamanya bersih, tetapi persyaratan ini akan menyaring calon yang tidak baik. 4. Pengetahuan hukum yang baik. Sebagai wakil negara dalam rnembuat akta autentik yang sah dan mendidik masyarakat awam terkait masalah pembuatan, pengadaan, serta hal lainnya seputar akta. Seorang Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Dalam Pasal 3 UUJN disebutkan bahwa syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris adalah: a. warga Negara Indonesia; b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. sehat jasmani dan rohani; e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat Negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Persyaratan ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.01-HT.03.01 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan dan Pemberhentian Notaris (untuk selanjutnya disebut dengan PERMENKUMHAM No: M.01-HT.03.01 Th 2006), yang berbunyi: Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah: a. warga negara Indonesia; b. bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Unadang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. sehat jasmani yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari dokter rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta; e. sehat rohani/ jiwa yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat dan psikiater rumah sakit pemerintah atau rumah sakit swasta; f. berijazah sarjana hukum dan lulusan pendidikan Spesialis Notariat yang belum diangkat sebagai Notaris pada saat UUJN mulai berlaku; g. berumur paling rendah 27 (dua puluh tujuh) tahun; h. telah mengikuti pelatihan teknis calon Notaris yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bekerjasama dengan pihak lain; i. telah menjalani magang atau telah nyata-nyata bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris yang dipilih atas prakarsa sendiri atau yang ditunjuk atas Organisasi Notaris setelah lulus pendidikan sebagaimana dimaksud pada huruf f ; j. tidak pernah terlibat dalam tindak kriminal yang dinyatakan dengan surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia; k. mengajukan permohonan pengangkatan menjadi Notaris secara tertulis kepada Menteri; l. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Badan Usaha Milik Swasta, atau sedang memangaku jabatan lain yang oleh peraturan perundang-undangan dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. 2.1.2 Fungsi Notaris Pejabat umum adalah organ Negara, yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum, berwenang menjalankan sebagian dari kekuasaan Negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang huum perdata. 2.1.3 Pemberhentian Notaris Pemerintah menghendaki notaris sebagai pejabat umum yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam membantu membuat perjanjian, membuat akta beserta pengesahannya yang juga merupakan kewenangan notaris. Meskipun disebut sebagai pejabat umum, namun notaris bukanlah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan yang mengatur tentang Kepegawaian. Notaris terikat dengan peraturan jabatan pemerintah, notaris tidak menerima gaji dan pensiun dari pemerintah, tetapi memperoleh gaji dari honorarium atau fee dari kliennya Notaris dapat berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat, hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UUJN. Lebih lanjut Pasal di atas menyebutkan alasan-alasan seorang Notaris dapat berhenti atau diberhentikan, yaitu karena meninggal dunia; telah berumur 65 tahun; berhenti atas permintaan sendiri; tidak mampu secara rohani dan/ atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 tahun; dan merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. Ketentuan Notaris dapat berhenti atau diberhentikan setelah berumur 65 tahun, dapat diperpanjang sampai berumur 67 tahun, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat (2) UUJN). UUJN tidak memberikan penjelasan Iebih lanjut mengenai alasan atas pertimbangan pemberian perpanjangan masa jabatan Notaris. Dengan demikian dapat ditafsirkan, bahwa pemberian waktu perpanjangan masa jabatan Notaris hingga umur 67 tahun hanya didasarkan pada pertimbangan kesehatan Notaris yang bersangkutan. Selain Notaris dapat berhenti atau diberhentikan dengan hormat, UUJN juga mengatur pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatan, yaitu apabila Notaris dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; Notaris berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 tahun; melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris; atau melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Pemberhentian Notaris dengan tidak hormat dari jabatannya hanya dapat dilakukan oleh Menteri atas usul MPP. Menteri secara langsung dapat memberhentikan Notaris dengan tidak hormat apabila Notaris dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. UUJN juga mengatur mengenai pemberhentian sementara Notaris dari jabatannya. Aturan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 9 UUJN yang menyebutkan bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena: a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang, b. berada di bawah pengampuan c. melakukan perbuatan tercela; atau d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Berdasarkan Pasal 9 ayat (3) UUJN Pemberhentian sementara Notaris dilakukan oleh Menteri atas usul MPP. Untuk dua alasan terakhir di atas, pemberhentian sementara berlaku paling lama 6 bulan. Sementara dua alasan 32 Pasal 12 dan Pasal 13 UUJN tersebut pertama tidak ditentukan batas waktu pemberhentiannya, hanya saja Pasal 10 UUJN secara eksplisit menyebutkan bahwa pemberhentian sementara berlaku sampai hak-hak Notaris dipulihkan. Dengan demikian Notaris yang diberhentikan sementara karena alasan telah melakukan perbuatan tercela dan melakukan pelanggaran kewajiban dan larangan jabatan dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah masa pemberhentian berakhir, sedangkan Notaris yang diberhentikan karena alasan dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang dan berada di bawah pengampuan dapat diangkat kembali menjadi Notaris setelah hak-haknya dipulihkan kembali. Mengenai kewenganan institusi yang menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara dalam UUJN ada 2 (dua) ketentuan pasal yaitu dalam Pasal 9 ayat (3) menyatakan bahwa pemberhentian sementara Notaris dilakukan oleh Menteri atas usul MPP, serta dalam Pasal 77 yang menyatakan bahwa salah satu kewenangan MPP adalah menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri. 2.2 Kewajiban Etis Notaris dan Larangan Etis Notaris 2.2.1 Kewajiban Etis Notaris Kewajiban Notaris dalam Kode Etik Notaris hasil Kongres Luar Biasa di Bandung pada tanggal 27 Januari 2005, tercantum dalam Pasal 3, yaitu: 1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik. 2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris. 3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan. 4. Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris. 5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan. 6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara; 7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium. 8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari. 9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan/ di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat: a. Nama lengkap dan gelar yang sah; b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris; c. Tempat kedudukan; d. Alamat kantor dan nomor telepon/ fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud. 10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan. 11. Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib. 12. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia. 13. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan Perkumpulan. 14. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah. 15. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim. 16. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/ atau status sosialnya. 17. Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai 18. kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak 19. terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam: a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris; c. Isi Sumpah Jabatan Notaris; d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia 2.2.2 Larangan Etis Notaris Selain mempunyai kewajiban sebagai anggota Organisasi Profesi, Notaris juga mempunyai larangan, larangan bagi Notaris dalam Kode Etik Notaris tercantum dalam Pasal 4 yaitu: 1. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan. 2. Memasang papan nama dan/ atau tulisan yang berbunyi "Notaris/Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor. 3. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/ atau elektronik, dalam bentuk: a. Iklan; b. Ucapan selamat; c. Ucapan belasungkawa; d. Ucapan terima kasih; e. Kegiatan pemasaran; f. Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah raga. 4. Bekerja sama dengan Biro jasa/ orang/ Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien. 5. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain. 6. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani. 7. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain. 8. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumendokumen yang telah diserahkan dan/ atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya. 9. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris. 10. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan. 11. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan. 12. Menjelekkan dan/ atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/ atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan / atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut. 13. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi. 14. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 15. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap: a. Ketentuan-ketentuan dalam UUJN tentang Jabatan Notaris; b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UUJN tentang Jabatan Notaris; c. Isi sumpah jabatan Notaris; d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan/ atau Keputusan-keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.   BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Dari penyusunan makalah di atas maka dapat di simpulkan bahwa : 1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang dan mewakili kekuasaan umum untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, untuk kepentingan pembuktian atau sebagai alat bukti. Untuk menjadi Notaris Harus memenuhi persyaratan seperti yang tertuang dalam UUJN. Serta pemberhentian jabatan Notaris juga di atur dalam UUJN. 2. Selain Kewajiban Notaris juga mempunyai larangan seperti yang yang di atur sesuai Kode Etik Notaris hasil Kongres Luar Biasa di Bandung pada tanggal 27 Januari 2005.   DAFTAR PUSTAKA Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta : 2009 A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung :1983 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Erlangga, Jakarta, 1980 __________________, Peraturan Jabatan Notaris, cet. 3, Erlangga, Jakarta: 1983 Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai Pejabat H. Salim HS. & H. Abdullah, Perancangan Kontrak dan MOU, Sinar Grafika, Jakarta : 2007 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (INI), Editor : Anke Dwi Saputro, Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang, dan Dimasa Mendatang, Gramedia Pustaka, Jakarta : 2009 R. Soesanto, Tugas, Kewajiban dan Hak-hak Notaris, Wakil Notaris, Pradnya Paramita, Jakarta : 1982 Sutrisno, Komentar Atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Diktat Kuliah Magister Kenotariatan USU, Medan : 2007 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta : 2006 Wawan Setiawan, Kedudukan dan Keberadaan Notaris Sebagai Pejabat Umum Menurut Sistem Hukum Dibandingkan Dengan Pejabat Tata Usaha Negara, Media Notariat 1996

Related Posts:

Makalah Akad-Akad dalam Islam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu islam sudah sangat lama berkembang, namun karena runtuhnya kekuasaan islam pada masa lampau, telah juga menghilangkan praktik - praktik tentang ekonomi islam yang baik dan benar di dalam masyarakat. Sehingga yang berkembang yakni paham - paham yang berasal dari bangsa Barat yang bersifat liberalis dan materialistis. Ilmu ekonomi islam muncul kembali pada abad ke-20 dengan munculnya bank bagi hasil. Praktik ekonomi islam resmi disahkan pada Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang berlangsung di Jedah 1976. Berbagai krisis ekonomi yang telah melanda dunia saat ini, para ahli berupaya mencari alternatif pemecahan masalah menggunakan ilmu ekonomi islam. Ilmu islam pada dasarnya bersifat adil dan tidak memihak sebelah pihak, dan oleh sebab itu kebanyakan orang - orang ataupun lembaga - lembaga yang memakai ilmu ekonomi islam tidak merasa dirugikan. Untuk itu sebaiknya dalam menjalankan suatu lembaga keuangan lebih baik kita menggunakan ilmu ekonomi islam. Sebagai makhluk social, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa. Dalam pembahasan fiqih, akad atau kontrak yang dapat digunakan bertransaksi sangat beragam, sesuai dengan karakteristik dan spesifikasi kebutuhan yang ada. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pembagian atau macam-macam akad secara spesifik, akan dijelaskan teori akad secara umum yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan akad-akad lainnya secara khusus . Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan mencoba untuk menguraikan mengenai berbagai hal yang terkait dengan akad dalam pelaksanaan muamalah di dalam kehidupan kita sehari-hari. B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut : 1. Pengertian Akad 2. Kedudukan, fungsi Akad 3. Rukun, syarat dan jenis-jenis Akad   BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Akad Secara terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari segi umum dan segi khusus. Dari segi umum, pengertian akad sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasakan keinginananya sendiri seperti waqaf, talak, pembebasan, dan segala sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai. Sedangkan dari segi khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqih antara lain: a. Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya. b. Keterkaitan ucapan antara orang yang berakad secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya. c. Terkumpulnya adanya serah terima atau sesuatu yang menunjukan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum. d. Perikatan ijab qabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. e. Berkumpulnya serah terima diantara kedua belah pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua belah pihak. Dari uraian diatas dapat dinyatakan bhawa Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah. Akad yang menyalahi syariat seperti agar kafir atau akan berzina, tidak harus ditepati. Akad-akad yang dipengaruhi aib adalah akad-akad pertukaran seperti jual beli dan akad sewa. B. Kedudukan, Fungsi, Ketentuan dan Pengaruh Aib dalam Akad. 1. Kedudukan dan fungsi akad adalah sebagai alat paling utama dalam sah atau tidaknya muamalah dan menjadi tujuan akhir dari muamalah. 2. Akad yang menyalahi syariat seperti agar kafir atau akan berzina, tidak harus ditepati. 3. Tidak sah akad yang disertai dengan syarat. Misalnya dalam akad jual beli aqid berkata: “Aku jual barang ini seratus dengan syarat dengan syarat kamu menjual rumahmu padaku sekian…,” atau “aku jual rumah barang ini kepadamu tunai dengan harga sekian atau kredit dengan harga sekian”, atau “aku beli barang ini sekian asalakan kamu membeli dariku sampai dengan jangka waktu tertentu sekian”. 4. Akad yang dapat dipengaruhi Aib adalah akad akad-akad yang mengandung unsur pertukaran seperti jual beli atau sewa. 5. Cacat yang karenanya barang dagangan bisa dikembalikan adalah cacat yang bisa mengurangi harga/nilai barang dagangan, dan cacat harus ada sebelum jual beli menurut kesepakatan ulama. Turunnya harga karena perbedaan harga pasar, tidak termasuk cacat dalam jual beli. 6. akad yang tidak dimaksudkan untuk pertukaran seperti hibah tanpa imbalan, dan sedekah, tak ada sedikitpun pengaruh aib di dalamnya. 7. Akad tidak akan rusak/ batal sebab mati atau gilanya aqid kecuali dalam aqad pernikahan. 8. Nikah tidak dikembalikan (ditolak) lantaran adanya setiap cacat yang karenanya jual beli dikembalikan, menurut ijma’ kaum musllimin, selain cacat seperti gila,kusta, baros, terputus dzakarnya, imptoten, fataq (cacat kelamin wanita berupa terbukanya vagina sampai lubang kencing atau Ada juga yang mengatakan sampai lubang anus (cloaca). Kebalikan dari fatq adalah rataq, yaitu tertutupnya vagina oelh daging tumbuh), qarn (tertutupnya vagina oleh tulang), dan adlal, tidak ada ketetapan khiyar tanpa diketahui adanya khilaf diantara ahlul ilmi. Dan disyaratkan bagi penetapa khiyar bagi suami tidak mengetahuinya pada saat akad dan tidak rela dengan cacat itu setelah akad. Apabila ia tahu cacat itu setelah akad atau sesudahnya tetapi rela, maka ia tidak mempunyai hak khiyar. Dan tidak ada khilaf bahwa tidak adanya keselamatan suami dari cacat, tidak membatalkan nikah, tapi hak khiyar tetap bagi si perempuan, bukan bagi para walinya. 9. Dalam hal pernikahan Jika ada cacat dalam mahar maka boleh dikembalikan dan akadnya tetap sah dengan konsekuensi harus diganti. C. Rukun Akad 1. Aqid (Orang yang Menyelenggarakan Akad) Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak, seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau criteria yang harus dipenuhi oleh aqid antara lain : a. Ahliyah Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan. b. Wilayah Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar’i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas. 2. Ma’qud ‘Alaih (objek transaksi) Ma’qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut : a. Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan. b. Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara’ untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya. c. Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari. d. Adanya kejelasan tentang obyek transaksi. e. Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis. 3. Shighat, yaitu Ijab dan Qobul Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang pertama. Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima. Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut. Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut : a. adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak. b. Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul c. Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung). d. Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya. Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila : a. penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli. b. Adanya penolakan ijab dari si pembeli. c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal. d. Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan e. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan. D. Syarat Akad 1. Syarat terjadinya akad Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara’. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus. Syarat akad yang bersifat umum adalah syarat–syarat akad yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah: a. Pelaku akad cakap bertindak (ahli). b. Yang dujadikan objek akad dapat menerima hukumnya. c. Akad itu diperbolehkan syara’dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya walaupun bukan aqid yang memiliki barang. d. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah. e. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul. f. Ijab dan kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya qabul, maka akad menjadi batal. Sedangkan syarat yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi(tambahan yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan. 2. Syarat Pelaksanaan akad Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara’. 3. Syarat Kepastian Akad (luzum) Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalika E. Pembagian Akad Pembagian akad dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan sudut pandang yang berbeda, yaitu: 1. Berdasarkan ketentuan syara’ a. Akad shahih akad shahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara’. Dalam istilah ulama Hanafiyah, akad shahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syara’ pada asalnya dan sifatnya. b. Akad tidak shahih Adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara’. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiyah menetapkan akad bathil dan fasid termasuk kedalam jenis akad tidak shahih, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dengan batal. Menurut ulama Hanafiyah, akad batal adalah akad yang tidak memenuhi memenuhi rukun atau tidak ada barang yang diakadkan seperti akad yang dilakukan oleh salah seorang yang bukan golongan ahli akad. Misalnya orang gila, dan lain-lain. Adapun akad fasid adalah akad yang yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang syara’ seperti menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan percekcokan. 2. Berdasarkan ada dan tidak adanya qismah: a. akad musamah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah. b. Ghair musamah yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara’ dan belum ditetapkan hukumnya. 3. Berdasarkan zat benda yang diakadkan : a. benda yang berwujud b. benda tidak berwujud. 4. Berdasarkan adanya unsur lain didalamnya : a. Akad munjiz yaitu, akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksaan akad adalah pernyataan yang disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan adanya akad. b. Akad mu’alaq Akad yang didalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran. c. Akad mu’alaq Akad yang didalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksaan akad, pernyataan yang pelaksaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tidanya waktu yang ditentukan. 5. Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad : a. Akad musyara’ah ialah akad-akad yang debenarkan syara’ seperti gadai dan jual beli. b. Akad mamnu’ah ialah akad-akad yang dilarang syara’ seperti menjual anak kambing dalam perut ibunya. 6. Berdasarkan sifat benda yang menjadi objek dalam akad : a. akad ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang seperti jual beli. b. Akad ghair ‘ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barangg karena tanpa penyerahan barangpun akad sudah sah. 7. Berdasarkan cara melakukannya: a. akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah. b. Akad ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya. 8. Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad : a. akad nafidzah, yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad b. akad mauqufah, yaitu akad –akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta) 9. Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan : a. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti bersetubuh, tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah bisa diakhiri dengan dengan cara yang dibenarkan syara’ b. Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dapat dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain. c. Akad lazimah yang menjadii hak kedua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak. Seperti titipan boleh diambil orang yang menitip dari orang yang dititipi tanpa menungguu persetujuan darinya. Begitupun sebalikanya, orang yang dititipi boleh mengembalikan barang titipan pada orang yang menitipi tanpa harus menunggu persetujuan darinya. 10. Berdasarkan tukar menukar hak : a. Akad mu’awadhah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual beli b. Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan seperti akad hibah. c. Akad yang tabaru’at pada awalnya namun menjadi akad mu’awadhah pada akhirnya seperti akad qarad dan kafalah. 11. Berdasarkan harus diganti dan tidaknya : a. akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah benda-benda akad diterima seperti qarad. b. Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda bukan, bukan oleh yang memegang benda, seperti titipan. c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman dan segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn. 12. Berdasarkan tujuan akad : a. tamlik: seperti jual beli b. mengadakan usaha bersama seperti syirkah dan mudharabah c. tautsiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan kafalah d. menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah e. mengadakan pemeliharaan seperti ida’ atau titipan 13. Berdasarkan faur dan istimrar : a. akad fauriyah, yaitu akad-akad yang tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti jual beli. b. Akad istimrar atau zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti I’arah. 14. Berdasarkan asliyah dan tabi’iyah : a. akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I’arah. b. Akad tahi’iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.   BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari beberapa penjelasan yang telah teruai diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwasanya kesepakatan antar kedua pihak berkenaan dengan suatu hal atau kontrak antara beberapa pihak atas diskursus yang dibenarkan oleh syara’ dan memiliki implikasi hukum tertentu.terkait dalam implementasinya tentu akad tidak pernah lepas dari yang namanya rukun maupun syarat yang mesti terpenuhi agar menjadi sah dan sempurnanya sebuah akad. Adapun mengenai jenis-jenis akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat dari berbagai perspektif, baik dari segi ketentuan syari’ahnya, cara pelaksanaan, zat benda-benda, dan lain-lain. Semua mengandung unsure yang sama yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar kedua belah pihak terkait dengan pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan kontrak. Sehingga dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam kehidupan kita sehari-hari   DAFTAR PUSTAKA Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2008 Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung : Pustaka Setia, 2006 Sa’adi Abu Habieb, Ensiklopedi Ijmak, Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. IV, 2009 Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, Surabaya: pustaka Progresif,cet 25 tahun 2002, Al-Munjid, Beirut: Daar Al-Masyriq Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah, Beirut: Daar al-Fiqr, Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Related Posts: