contoh Proposal Tesis

A. Latar Belakang Dalam rangka memujudkan peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan, adil dan makmur berdasarkan Undang Undang Dasar 1945, maka pemerintah harus melakukan pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitasi nasional yang memperhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan. Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam menyelesrasikan dan menyeimbangkan unsur unsur ini adalah perbankan. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk kredit dan bentuk bentuk lainnya dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Peran strategis perbankan dalam dalam menyerasikan menyeimbangkan pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, yaitu dengan pemberian pinjaman dana kepada masyarakat melalui kredit. Menurut pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Berdasrkan pengertian kredit diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian kredit harus didasarkan kepada persetujuan atau kesepaktan antara bank denga pihak peminjam, yaitu melalui perjanjian. Sehingga dikenal dengan perjanjian kredit. Bank dalam pemberian kredit kepada nasabah mempunyai suatu resiko yang besar. Salah satu penyebab resiko tersebut adalah jika pinjaman yang diberikan oleh bank kepada nasabah tidak dilunasi pembayaran oleh nasabah yang bersangkutan. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi pihak bank. Di samping itu, dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank harus berdasarkan suatu kebijakan untuk selalu tetap memelihara keseimbangan yang tepat antara memperoleh keuntungan dengan likuiditas dan solvabilitas bank. Likuiditan dan dan solvabiltas bank ini tergantung kepada kemampuan masing-masing nasabah bank untuk melunasi hutang-hutangnya kepada bank. Untuk itu bank dalam memberikan kredit harus melakukan dengan prinsip kehati-hatian yang dikenal denga 5 (lima)C, yaitu meliputi : character (sifat-sifat calon debitur atau nasabah), capiatal (modal yang dimiliki oleh calon debitur), capacity (kemampuan calon nasabah), callateral (jaminan yang dimiliki oleh calon debitur), condition of economy (kondisi perekonomian). Dalam praktek, salah satu prinsip kehati-hatian yang diterapkan bank konvensional dalam memberikan fasilitas kredit, yaitu meminta kepada nasabah atau debutur utuk menyerahkan suatu jaminan. Jaminan tersebut diberikan oleh nasabah berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah disepakati antara pihak bank selaku kreditur dan nasabah peminjam selaku debitur sebelumnya. Jaminan menjadi sangat penting bagi pihak ban karena kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko. Resiko yang dapat merugikan pihak bank jika kredit yang dipinjamkan bermasalah. Sehingga untuk mengurangi resiko, diperlukan jaminan dalam memberikan kredit tersebut. Jaminan akan digunakan oleh ppihak bank untuk menjamin pelunasan utang debitur apabila suatu saat debitur ingkar janji atau wanprastasi. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip kehati-hatian bank dalam memberikan kredit kepada nasabah, yaitu collateral (jaminan yang dimiliki calon debitur). Pada dasarnya, jenis jaminan dapat di bedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu jaminan kebendaan (materil) dan jaminan perorangan (inmateril). Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu,terhadap harta kekayaan debitur umumnya, misalnya borg. Sedangkan jaminan kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Salah satu jaminan kebendaan ini adalah Hak Tanggungan. Lembaga jaminan Hak Tangungan digunakan untuk mengikat obyek jaminan utang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan denga tanah yang bersangkutan. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Hal ini berarti bahwa obyek dari Hak Tanggungan adalah tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, tanah merupakan jaminan yang sangat menguntungkan bagi pihak bank, selain harga jual tanah yang tinggi, tanah juga mempunyai nilai yang terus menigkat dalam kurun tertentu dan tidak akan mengalami kemerosotan. Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan harus memenuhi 4 syarat, yaitu : 1. Dapat dinilai dengan uang; 2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum; 3. Mempunyai sifat dapat dipindahkan; 4. Memerlukan penunjukan oleh Undang-Undang; Menurut ketentuan yang berlaku Hak tanggungan wajib di daftarkan, yang mana sesuai dengan ketentuan pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan : “Bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada kantor pertanahan. Selambat lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatangan akta pemberian hak tanggungan, ppat wajib mengirimkan akta pemberian hak tanggungan dan warkah lain yang diperlukan kepada kantor pertanahan. Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh kantor pertanahan dengan mebuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan”. Pemberian Hak Tangguangan tersebut dilakukan dengan pembuatan akta pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang di buat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peranturan perundang-undangan yang berlaku yaitu pada pasal 1 ayat 4 UU Nomor 4 tahun 1996 “Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang di beri wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Hak tanggungan ini mempunyai sifat accesoir atau perjanjian ikutan, maksudnya perjanjian jaminan utang atas hak tanggungan tidak berdiri sendiri karena sebelumnya didahului oleh perjanjian pokok, yaitu perjanjian utang-piutang. Apabila perjanjian pokok hapus atau batal, maka secara otomatis perjanjian accesoir menjadi hapus pula. Pemberian Hak Tanggunagan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu : a. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang didahului dengan perjanjian hutang piutang yang menjadi dasar pemberian Hak Tangguangan; b. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saata lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan. Pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan sebagai bukti dilakukakannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjannya masing-masing, sebagaimana dimaksud yang disebutkan diatas, maka akta-akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta otentik. Pembebanan hak atas tanah yang merupakan kewenangan PPAT, salah satunya yaitu pembuatan akta pemberian hak tanggungan (APHT). Dalam memberikan Hak Tanggungan, pemberi hak tanggungan wajib hadir di hadapan PPAT, apabila yang bersangkutan tidak dapat hadir, maka wajib menunjuk orang lain sebagai kuasannya dengan surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) yang dapat di buat oleh notaris, atau juga dapat di buat oleh PPAT yang kewenangannya sampai wilayah kecamatan. Pada saat pembuatan SKMHT dan APHT, Notaris/PPAT yang bersangkutan harus yakin bahwa pemberi hak tangguangan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang di bebabnkan, walaupun kepastian di milikinya kewenangan tersebut baru dipersyaratkan pada waktu pemberi Hak Tanggungan didaftar. Pentingnya pembuatan APHT oleh PPAT adalah sebagai dasar jaminan bagi kreditor yaitu dengan melakukan pembebanan hak tanggungan terhadap obyek jaminan. Hal ini tentu saja untuk melindungi kepastian para pihak baik kreditor maupun debitur dan sebagai kepastian hukum bagi para pihak tersebut, sebagai pemegang hak preferen. Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik mengkaji lebih detail kembali tentang “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN DAN PENDAFTARANNYA”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembebanan dan pendaftaran Hak Tanggungan 2. Hambatan apa sajakah yang di alami oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembebanan Hak Tanggungan dan pendaftarannya C. Tujuan Penilitian Tujuan ini dilakukan dengan beberapa tujuan antara lain : 1. Untuk mengetahui seberapa besar Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pembebanan dan Pendaftaran Hak Tanggungan 2. Untuk mengetahui hambatan apa saja yang di alami oleh pejabat pembuat akta tanah dalam pembebanan hak tanggungan dan pendaftarannya D. Manfaat Penilitian Penilitian ini diharapkan dapat memberikan berbagai macam manfaat antara lain : 1. Secara Teoritis a. Dapat membantu bagaimana penerapan hukum perdata tentang hukum agraria atau hukum tanah terutama pada peran pejabat pembuat akta tanah dalam pembebanan hak tanggungan dan pendaftrannya. b. Diharapkan hasil penilitian ini menjadi referensi dan pengetahuan dan pengembangan ilmu hukum khususnya hukum perdata bagi mahasiswa maupun masyarakat umumnya tentang proses dalam pembebanan hak tanggungan dan pendaftrannya. 2. Secara Praktis a. Dapat memberikan masukkan pada Para Pejabat Pembuat Akta Tanah Terhadap Peran dan fungsinya dalam pembebanan hak tanggungan dan pendaftarannya. b. Dapat memberikkan masukkan kepada kreditur maupun debitur bagaimana prosedur pembebanan dan pendaftaran hak tanggungan sebagaimana mestinya. E. Kerangka Konseptual Dalam Pasal 1 ayat 1 UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah ini, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Lembaga jaminan oleh lembaga perbankan yang dianggap paling efektif dan aman adalah tanah dengan jaminan Hak Tanggungan. Hal itu didasari adanya kemudahan dalam mengidentifikasi obyek Hak Tanggungan, jelas dan pasti eksekusinya, di samping itu hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan harus dibayar terlebih dahulu dari tagihan lainnya dengan uang hasil pelelangan tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan. Penggunaan tanah sebagai jaminan kredit, baik untuk kredit produktif maupun konsumtif, didasarkan pada pertimbangan tanah paling aman dan mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi.Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain, yang disebut perjanjian pokok. Salah satu perjanjian pokok bagi perjanjian Hak Tanggungan adalah Perjanjian Kredit yang menimbulkan utang yang dijamin. Dalam butir 8 penjelasan umum UUHT disebutkan oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accesoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian lain maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Selain itu menurut Pasal 10 ayat (1) UUHT bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan dan Pasal 18 ayat (1) Huruf a UUHT menentukan Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat harus mengandung ciri-ciri: a) Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya (droit de preference). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1) UUHT; b) Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun obyek itu berada (droit de suite). Ditegaskan dalam Pasal 7 UUHT; c) Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. d) Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Umum UUHT angka 3 huruf c. Dalam pengelolaan bidang pertanahan di Indonesia, terutama dalam kegiatan pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), merupakan pejabat umum yang menjadi mitra instansi BPN guna membantu menguatkan/mengukuhkan setiap perbuatan hukum atas bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan yang dituangkan dalam suatu akta otentik. “Segala Warga Negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” Ungkapan kalimat tersebut mengandung pengertian bahwa semua Warga Negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum, dan berkewajiban tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam ketentuan Hukum Tanah Nasional yaitu Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 mengatur bahwa semua Peralihan Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah yang kemudian disingkat PPAT sebagai Warga Negara sekaligus Pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai segala sesuatu perbuatan hukum berkaitan dengan peralihan Hak Atas Tanah, tunduk pada hukum dan peraturan perundangan yang berlaku. Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan tanah. Yang disebut dengan PPAT adalah pejabat umum yang diberikan wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberi kuasa pembebanan hak Tanggungan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dalam pelaksanaan administrasi pensertipikatan tanah, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik bidang tanah tesebut maupun hubungan hukum yang menyangkut bidang tanah itu atau data yuridisnya. Dalam hubungan dengan tindak lanjut terhadap pencatatan data yuridis ini, diperlukan Petugas Pembuat Akta Tanah atau PPAT yang akan menerbitkan akta tanah. Dengan demikian, peran PPAT sangat penting dalam hubungannya dengan maksud memudahkan pendataan, pendaftaran, memberikan hak baru, dan/atau membebankan hak atas tanah. Dari pengertian PPAT di atas, maka dapat dilihat betapa pentingnya fungsi dan peranan PPAT dalam melayani kebutuhan masyarakat dalam hal pertanahan baik pemindahan hak atas tanah, pemberian hak baru atau hak lainnya yang berhubungan dengan hak atas tanah. PPAT sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta dalam peralihan hak atas tanah, akta pembebanan serta surat kuasa pembebanan hak tanggungan, juga bertugas membantu Kepala Kantor Pertanahan Nasional dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta tertentu sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan atau bangunan yang akan dijadikan dasar bagi bukti pendaftaran tanah. Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA. Mengingat pentingnya fungsi PPAT perlu kiranya diadakan peraturan tersendiri yang mengatur tentang PPAT sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, demikian juga setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dikatakan PPAT adalah “pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun”. Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka pada dasarnya kewenangan PPAT berkaitan erat dengan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Untuk membuktikan adanya perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan haruslah dibuat akta otentik. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah dan bangunan belum sah. Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah. Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut peraturan yang telah disempurnakan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pendaftaran jual beli hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT sebagai alat bukti yang sah. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum. Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat seorang PPAT bertugas untuk melayani permohonan-permohonan untuk membuat akta-akta tanah tertentu yang disebut dalam peraturan-peraturan berkenaan dengan pendaftaran tanah serta peraturan Jabatan PPAT. Dalam menghadapi permohonan-permohonan tersebut PPAT wajib mengambil keputusan untuk menolak atau mengabulkan permohonan yang bersangkutan. PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik, yaitu akta yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan hukum tertentu yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah dan bangunan. Berkaitan dengan kepastian pemilikan hak atas tanah dan bangunan, setiap perolehan hak yang terjadi dari suatu perbuatan hukum harus dibuat dengan akta otentik. Hal ini penting untuk memberi kepastian hukum bagi pihak yang memperoleh hak tersebut sehingga ia dapat mempertahankan haknya tersebut dari gugatan pihak manapun. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perolehan hak tersebut belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak, maka akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan memperoleh hak tersebut. Adanya akta PPAT yang bermaksud membuat akta perjanjian pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, penukaran, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang yang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang dan jika akta peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun tersebut sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam daftar buku tanah, maka kepala Kantor Pertanahan memberikan sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan kepada pembeli F. Metode Penilitian Dalam suatu karya ilmiah agar memenuhi syarat keilmiahan harus di dasarkan pada suatu penilitian terlebih dahulu. Agar suatu penilitian dapat memiliki bobot ilmiah maka di pergunakan suatu metode penilitian. Metode penilitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji suatu kebenaran ilmu pengetahuan, usaha di mana melakukan metode ilmiah. Didalam setiap penilitian hukum, metode penilitiannya selalu mengguraikan bagaimana penalarannya, dalil-dalil, postulat-postulat dan proporsi-proporsi yang melatar belakanginya, kemudian memberikan alternatif tersebut serta membandingkan atau mengkomprasikan unsur-unsur penting dalam penilitian tersebut. Untuk itu dalam penilitian ini juga digunakan metode-metode tertentu agar tujuan yang di harapkan dapat tercapai. 1. Tipe Penilitian Tipe penilitian yang digunakan dalam penilitian ini adalah tipe yuridis Normatif. Metode penilitian yuridis normatif adalah metode penilitian yang mengacu pada norma norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang undangan. Dalam penilitian yuridis normatif yang di pergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penilitian yang mengacu pada norma norma yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum. Aspek yuridis yang di pakai dalam penilitian ini yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan tentang pejabat pembuat akta tanah dalam pembebanan hak tanggungan dan pendaftarannya. 2. Spesifikasi Penilitian Penelitian yang digunakan dalam penilitian ini merupakan penilitian desdriptif analitis yaitu penilitian yang bersifat menggambarkan bagaimana fenomena atau peristiwa yang terjadi dalam objek yang akan diteliti. Dan dilakukan analisis data untuk mendapatkan kesimpulan. Penilitian deskriptif artinya dalam melakukan penilitian itu dengan cara melukiskan atau menggambarkan obyek atau peristiwa untuk mendapatkan kesimpulan mengenai Tinjauan Yuridis Tentang Peran Pejabat Akta Pembuat Tanah Dalam Pembebanan Hak Tanggungan Dan Pendaftarannya. 3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penilitian ini menggunakan data skunder, yaitu cara pengumpulan data dengan bersumber pada bahan-bahan pustaka. Studi ini menganalisis obyek penilitian dengan menggunakan data skunder, yaitu data yang di peroleh dari hasil penilitian dan kajian-kajian pustaka. Sumber yang digunakan dalam penilitian ini adalah menggunakan data skunder. a) Data Sekunder Adalah data yang diperoleh peniliti dari penilitian kepustakaan dan dokumen,yang merupakan hasil penilitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasannya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi. Data sekunder dalam penilitian ini dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu : 1) Bahan Buku Primer,yaitu bahan-bahan yang mengikat terdiri dari: aa) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bb) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996yang di atur pada bab I tentang Akta PemberianHak Tanggungan adalah akta dari PPAT yang mana di atur dalam pasal 4-5 cc) Peraturan Pemerintah Nomot 37 Tahun 1998 yang diatur pada bab I dan bab II mengenai pejabat pembuat akta tanan dan tugas dan wewenangnya yang mana di atur dalam pasal 1-4. 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum Primer, yang berupa laporanhasil penilitian pendapat para ahli dalam bentuk buku, makalah dan lain sebagainya yang berkaitan dengan peran pejabat pembuat akta tanah dalam pembebanan hak tanggungan dan pendaftarannya. 3) Bahan Hukum Tertier,yaitu bahan-bahan yang memberikan pengertian tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Yang berupa terminologi, kamus hukum dan kamus besar bahasa indonesia 4. Metode Analisis Data Penilitian ini menggunakan metode analisis data secara kualitatif yaitu data-data yang diperoleh selama proses penilitian kemudian di susun secara sistematis dan dianalisis sehingga mencapai kejelasan permasalahan yang dibahas yaitu tinjauan yuridis terhadap peran pejabat pembuat akta tanah dalam pembebanan hak tanggungan dan pendaftaraannya. G. Sistematika Penulisan Untuk sistem penulisan dan pembahasan dalam skripsi ini, maka penilis akan menguraikan sistematika penulisan yang dibagi dalam empat bab dan dilengkapi dengan sub bab-sub bab yaitu: BAB I, Pendahuluan membahas tentang : latar belakang masalah, rumusan masalah, tejuan penilitian, kegunaan penilitian, metode penilitian, dan sistematika penulisan. BAB II, Tinjauan pustaka yang mana akan di bahas tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pendaftaran Tanah Dan Hak Tanggungan BAB III, Hasil penilitian dan pembahasan di bahas tentang : Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pembebanan Hak Tanggungan dan Pendaftarannya serta kendala kendala yang akan di hadapi dalam Proses Pembebanan Dan Pendaftaran Hak Tanggungan. BAB IV, Penutup dibahas mengenai Kesimpulan Dan Saran-Saran. H. Jadwal Penelitian Beberapa tahapan dalam penyusunan Tesis ini dimulai dari persiapan sampai penyususnan laporan, dapat penulis agendakan sebagai berikut : 1. Persiapan : 3 Minggu 2. Penyusunan Proposal : 3 Minggu 3. Pengumpulan Data : 3 Minggu 4. Pengolaan Data dan Analisis Data : 4 Minggu 5. Penyusunan Laporan : 4 Minggu 6. Revisi dan penggandaan : 3 minggu Jumlah : 20 minggu   Daftar Pusataka A. Daftar Buku M. Djumaha, Hukum Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, jakarta, 2009 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak tanggungan Buku 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998 Purwahid Patrik dan Kashadi, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2008) Sudargo Gautama, Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru Tahun 1996 No.4, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Retnowulan Sutantio, Penelitian tentang Perlindungan Hukum Eksekusi JaminanKredit, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman RI, 1998) Hilan Hadi Kusuma, Metode pembuatan Kertas Atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,1995 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penilitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan ke-5, Ghalia Indonesia, Jakarta B. Daftar Internet http://probopribadisembiringmeliala.blogspot.com/2013/10/jurnal-hukum-peran-pejabat-pembuat-akta.html

Related Posts:

0 Response to "contoh Proposal Tesis"

Post a Comment